Jumat, 19 April 2024

Pemerintah Perlu Mengadopsi Strategi Swasembada Beras untuk Komoditas Pangan Lainnya

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Proses bongkar muat beras di Gudang Bulog Divisi Regional Jawa Timur, Buduran. Foto: Dokumen suarasurabaya.net

Pemerintah Indonesia baru saja menerima penghargaan dari Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI) karena sistem ketahanan pangan yang baik dan berhasil swasembada beras pada periode 2019-2021.

Penghargaan itu diserahkan Jean Balie Direktur Jenderal IRRI langsung kepada Joko Widodo Presiden RI, di Istana Negara, Jakarta, Minggu (14/8/2022).

Henry Saragih Ketua Umum Serikat Petani Indonesia menilai, penghargaan itu adalah buah dari implementasi Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang melarang impor pangan selagi masih bisa diproduksi petani di dalam negeri.

Selain itu, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani mendukung swasembada pangan di Tanah Air.

“Presiden Jokowi memang menekankan tidak akan impor beras. Itu salah satu yang harus dihargai komitmennya. Jadi, sekarang Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan tidak mau impor beras, tidak bisa,” ujarnya di Jakarta, Senin (15/8/2022).

Menurut Henry, seharusnya kebijakan yang diklaim bisa menggenjot produksi beras itu bisa diimplementasikan untuk komoditas pangan lain.

“Ya harusnya di komoditas yang lain, termasuk daging, untuk semuanya. Karena sesungguhnya Indonesia bisa untuk kacang kedelai, bahkan juga terigu,” imbuhnya.

Swasembada beras juga didukung Pemerintah dengan pembangunan banyak irigasi pertanian. Walau begitu, Henry mengungkapkan masih banyak yang harus dilakukan Pemerintah terkait beras.

“Petani yang produsen beras itu kesejahteraan hidupnya belum membaik. Itu bisa dilihat secara sederhana dari nilai tukar petani (NTP) yang menurun dalam tiga tahun terakhir,” paparnya.

Penurunan NTP, sambung Henry, menjadi indikator kerugian yang dialami petani komoditas pangan. Penurunan itu dipengaruhi mahalnya ongkos produksi tanaman padi.

“Sebenarnya petani pangan, dalam hal ini padi semuanya merugi. Mengapa terjadi penurunan? Karena harga pupuk-pupuk mahal, terus harga benih-benih juga naik,” ungkapnya.

Maka dari itu, Henry menyarankan program reforma agraria menyasar petani penanam padi yang sekarang dihadapkan pada penyempitan lahan tanam dan kenaikan harga sewa lahan.

“Program reforma agraria yang membagikan tanah 9,7 juta hektare itu harusnya menyasar pada petani tanaman padi. Karena itu yang harus ditambah luas lahannya,” tambah Henry.

Selain itu, Indonesia baru surplus beras 10 juta ton. Angka itu setara dengan kebutuhan nasional selama 3 bulan.

“Karena Indonesia baru surplus 10 juta ton, itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan selama tiga bulan, nggak sampai satu kali panen. Jadi, sebenarnya harus ditingkatkan lagi,” tambahnya.

Lebih lanjut, Henry juga mewanti-wanti para produsen beras dalam negeri menggunakan benih lokal untuk menjamin kedaulatan pangan Indonesia.

“Kita harus terus menggunakan benih yang diproduksi petani, Pemerintah, dan lembaga-lembaga nasional,” sebutnya.

Sementara itu, Dwi Andreas Santoso Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) bilang, kenaikan produksi beras di Indonesia berkat La Nina.

“Yang jelas, dua tahun kita diselamatkan iklim, karena iklim La Nina. Jadi produksi padi meski tidak naik, turun sedikit, itu diselamatkan oleh La Nina,” katanya.

Fenomena iklim La Nina atau kemarau basah, lanjut Andreas, dalam 20 tahun terakhir biasanya meningkatkan produksi padi dengan sangat signifikan. Tapi, pada periode 2019 sampai sekarang, kenaikan produksi padi dianggap lebih dari cukup untuk konsumsi dalam negeri.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Produksi padi pada 2021 yaitu sebanyak 54,42 juta ton GKG, mengalami penurunan sebanyak 233,91 ribu ton atau 0,43 persen dibandingkan produksi padi di 2020 yang sebesar 54,65 juta ton GKG.

Selama tiga tahun, Indonesia juga disebut sudah tidak mengimpor beras.

“Betul kita tidak impor, penyebabnya? Terjadi penurunan konsumsi beras. Kalau penurunan konsumsi beras, maka beralih yang paling nyata ke gandum,” terangnya

Pemerintah mengklaim, prognosis pangan nasional tahun 2022, khususnya pada komoditas beras, menunjukkan adanya surplus 7,5 juta ton.

Itu melanjutkan tren positif swasembada beras dengan produksi beras pada tahun 2020 sebanyak 31,4 juta ton, dan tahun 2021 mencapai 31,2 juta ton.

Artinya, kondisi produksi beras yang relatif stabil dari tahun ke tahun berdampak positif terhadap terjaganya harga beras nasional di tingkat konsumen.

“Swasembada beras yang telah dicapai tentunya masih dihadapkan oleh berbagai tantangan baik dari sisi hulu sampai ke hilir. Untuk itu, Pemerintah harus terus meningkatkan berbagai upaya perbaikan,” kata Airlangga Hartarto Menko Perekonomian.

Di sisi lain, Andreas mengingatkan Pemerintah untuk terus memperhatikan kesejahteraan petani. Bagi petani dengan lahan kecil, bercocok tanam padi malah bikin mereka rugi.

Berbagai insentif dan bantuan macam pupuk subsidi yang diberikan Pemerintah tidak banyak berpengaruh pada kehidupan mereka.

“Kalau usaha tani sekarang rugi, maka insentif tidak banyak membantu. Ada masalah yang krusial yang harus diatasi bersama,” ucap Andreas.

Sekadar informasi, Nilai Tukar Petani (NTP) terus memgalami penurunan sepanjang tahun 2022. BPS mencatat, NTP Indonesia pada Juli 2022 di angka 104,2. Nilai itu turun 1,61 persen dibanding NTP bulan sebelumnya yang mencapai 105,96.(rid)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Jumat, 19 April 2024
32o
Kurs