Minggu, 19 Mei 2024

Produksi Emas Dalam Negeri Positif bagi Perekonomian Nasional

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilustrasi. Emas. Foto: Pixabay

Fahmy Radhi Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengungkapkan pengolahan dan pemurnian (smelter) yang sedang dibangun di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) JIIPE, Gresik, Jawa Timur, akan memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

“Nilai tambah produksi emas itu memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian Indonesia di pusat, dan daerah Papua,” ujarnya, Rabu (20/7/2022).

Penulis buku Freeport Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi itu juga menerangkan, produksi emas yang sedemikian besar adalah buah dari keberhasilan pemerintah mengambil alih Freeport dari saham minoritas sekitar 9,4 persen menjadi saham mayoritas sebanyak 51,2 persen.

Menurut Fahmi, PT FI sebelumnya mengekspor konsentrat, karena belum membangun smelter.

“Sebelumnya, Indonesia hampir tidak dapat manfaat dari produksi emas PT FI lantaran smelterisasi konsentrat di lakukan di smelter luar negeri. Sekarang,Produksi emas yang melimpah itu merupakan hasil divestasi 51 persen, yang salah satu syaratnya adalah smelterisasi di dalam negeri,” jelasnya.

Sementara itu, Airlangga Hartarto Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengatakan PT Freeport Indonesia akan memproduksi emas sebanyak 1 ton per minggu dari pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) yang sedang dibangun di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) JIIPE, Gresik, Jawa Timur.

Dengan adanya investasi US$ 200 juta, untuk tahap awal PT FI bisa memproduksi 35 ton emas per tahun.

Produksi emas yang besar di dalam negeri bisa membuat Indonesia segera membentuk bullion bank atau bank yang bisa menerima transaksi emas, selain mata uang biasa.

“Sehingga kalau ditangkap ini dengan bullion bank ini tidak perlu dikirim ke Singapura, karena kebanyakan sekarang dikirim ke Singapura, dari Singapura masuk lagi ke Indonesia. Sehingga hampir seluruh industri perhiasan itu ongkosnya hanya tolling fee karena tentu kaitannya dengan insentif fiskal dengan PPN,” ujarnya.

Nantinya, smelter senilai Rp42 triliun itu akan mengolah 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun dan memproduksi 600 ribu ton katoda tembaga dan 35 ton emas per tahunnya.

Di sisi lain, M. Faisal Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia mengingatkan supaya pengiriman bahan baku dari tambang PT.Freeport ke Smelter Gresik harus diawasi dengan benar.

“Yang titik kritis adalah masalah pengawasan. Karena tambang di Papua, Smelter di Jawa Timur, maka pengawasan dalam hal pengiriman, memastikan bahwa tidak ada distorsi,” katanya.

Kemudian, kalau pemerintah melarang ekspor barang mentah termasuk emas, ini juga harus diawasi dengan betul, jangan sampai ada kebocoran.

Dari aspek sosial, Faisal mengatakan, keberadaan baik itu tambang mau pun smelter harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat sekitar.

Dia mencontohkan, smelter di Sulawesi dan Maluku tidak diketahui sumbangsih mereka untuk pendapatan daerah atau serapan tenaga kerjanya.

“Kalau di Sulawesi dan Maluku, sering kali Pemda tidak tahu banyak dengan tata niaga, dan seberapa jauh penerimaan untuk daerah itu tidak kelihatan atau belum jelas. Sebetulnya Belum lagi seberapa banyak tenaga kerja yang direkrut yang domestik apalagi lokal. Itu menjadi isu dan masalah. Dan ini menjadi pelajaran untuk tidak terjadi di komoditas hilirisasi di komoditas lain,” pungkasnya.(rid/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya
Kurs
Exit mobile version