Airlangga Hartarto Menteri Koordinator bidang Perekonomian mengatakan, Indonesia bisa berdikari dalam bidang energi kalau mampu melepas ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM).
Apalagi, Indonesia memiliki sejumlah sumber energi terbarukan yang bisa digunakan. Tapi, Pemerintah menyadari masih banyak tantangan untuk mengoptimalkan potensi yang ada.
“Indonesia bisa berdikari energi, lepas dari ketergantungan di sektor otomotif, yaitu BBM, selama BBM bisa kita konversi, bisa biodiesel dan kombinasi kendaraan listrik, tentu tujuan untuk kemandirian energi bisa dicapai. Tapi, di antaranya kita harus memanfaatkan sumber daya batubara yang banyak, coal to liquid supaya ketergantungan impor BBM bisa dikurangi,” ujarnya dalam acara Diskusi Berdikari, Lawan Krisis Global dengan Ketahanan Energi, di Jakarta, Selasa (24/1/2023).
Indonesia, lanjut Airlangga, juga memiliki potensi besar untuk memproduksi solar panel.
“Berkembang pabrik kaca, solar panel itu bahan bakunya kaca, atau silika yang banyak di Indonesia,” imbuhnya.
Kemudian, masih ada kekayaan alam, ribuan pulau, danau, dan laut yang membuat Indonesia bisa jadi penghasil energi terbarukan terbesar di Asia.
“Indonesia belajar teknologi clean coal dari Jepang. Jepang menguasai teknologi berbasis nuklir terkait renewable energy. Indonesia ditawarkan energi berbasis nuklir. Kita punya sumber uranium di Kalimantan Barat,” jelasnya.
Kemudian, ada juga teknologi Co Firing dari Jepang, pengembangan hidrogen dan amonia sebagai bahan bakar pengganti batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Co Firing dilakukan dengan menambahkan bahan bakar lain, seperti biomassa yang dibuat dari sampah atau limbah, termasuk dari ladang minyak yang sudah tidak digunakan.
“Dengan dua teknologi itu, kita bisa mencapai karbon netral, dan ini renewable,” tegasnya.
Sementara itu, Djoko Siswanto Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) menyebut dalam Indeks Ketahanan Energi, Indonesia masuk kategori tahan walau masih bergantung pada impor BBM.
“Dunia boleh krisis, berdasarkan angka indeks ketahanan energi, di kategori tahan, tapi belum sangat tahan karena faktor impor BBM. Kalau sudah tidak ada impor, kita baru bisa menuju kemandirian,” ungkapnya.
Untuk itu, Djoko mendorong Pemerintah memperkuat kebijakan transisi energi yang sudah ada, misalnya saja teknologi DME pengganti LPG, memperkuat studi kompor listrik agar feasible, dan melarang produksi kendaraan berbahan bakar minyak.
“Kalau ada kebaikan seperti itu akan lebih cepat. Itu untuk bensin. Harus sudah mulai memproduksi motor listrik. Itu juga harus kita ajak, berbisnis LPG, kita ajak untuk investor juga di di DME dan motor listrik,” jelasnya.
Bagi PLN, transisi energi di Indonesia diiringi inovasi untuk mencapai target Net Zero Emission 2060. Salah satunya, melalui prinsip operasi sistem menggunakan konsep Trilema Energi (ekonomis, andal dan rendah emisi). Potensi yang besar, diikuti tantangan yang luar biasa pula.
“PLTP panas bumi punya potensi yang nomor dua terbesar , namun sampai saat ini banyak kendala pengembangan geothermal,” kata Evy Haryadi Direktur Transmisi PLN.
Selain pendanaan, penyerapan teknologi juga masih menjadi kendala. Potensi energi terbarukan yaitu energi tenaga surya, energi air, energi angin atau energi bayu, energi limbah biomassa, dan juga potensi pembangkit mikrohidro.(rid/ipg)