
Metode pembayaran Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) di Indonesia mendapat kritik dari Amerika Serikat (AS).
Dalam laporan tahunan 2023 yang dirilis Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR), AS menyatakan bahwa pihak internasional merasa tidak dilibatkan dalam pengembangan QRIS dan GPN.
Perusahaan perbankan AS mengeluhkan kurangnya informasi terkait perubahan QRIS dan GPN serta tak diberikannya kesempatan untuk memberikan masukan. AS juga berpendapat bahwa kedua sistem pembayaran ini tidak dirancang agar kompatibel dengan sistem pembayaran internasional.
QRIS, yang dikembangkan oleh Bank Indonesia (BI), adalah standar kode nasional untuk pembayaran digital. Sementara itu, GPN merupakan sistem yang mengintegrasikan berbagai instrumen dan kanal pembayaran di Indonesia.
Meski berbeda, keduanya saling terhubung. GPN sebagai infrastruktur yang menghubungkan bank-bank di Indonesia, sementara QRIS digunakan untuk pembayaran multiplatform.
Di sisi lain, transaksi perbankan digital di Indonesia terus tumbuh pesat, dengan pembayaran digital diperkirakan meningkat 36,1 persen pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya, serta volume transaksi yang juga meningkat 35,3 persen.
Menyikapi hal ini, Rahmat Setiawan pakar keuangan perbankan dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) menilai protes dari USTR terhadap QRIS sebenarnya kurang tepat.
“Karena QRIS sebenarnya adalah sistem pembayaran domestik Indonesia, yang tidak terlalu terkait dengan sistem perdagangan internasional,” kata Rahmat dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Rabu (30/4/2025) pagi.
Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Keuangan Perusahaan FEB Unair itu menambahkan, muncul kekhawatiran jika penggunaan QRIS semakin masif, hal ini dapat mengurangi keuntungan Visa dan Mastercard.
“Sehingga Amerika mencoba untuk mengurangi laju QRIS dengan memprotes dan menjadikannya sebagai alat negosiasi dari tarif Trump ini,” imbuhnya.
Ia menjelaskan, selama ini, belum pernah ada protes serupa. QRIS dinilai sebagai “alat tegang” bagi AS untuk mencoba tetap mengendalikan sistem pembayaran, yang secara bertahap mulai digantikan oleh sistem dari Bank Indonesia—seperti GPN—dan sekarang QRIS yang jauh lebih masif.
“Kenapa QRIS masif? Karena mudah untuk dibuat, sehingga bisa metode pembayaran atas produk yang dijual oleh merchant,” sebut Rahmat.
Berdasarkan data resmi Bank Indonesia (BI) untuk kuartal I (Januari–Maret 2025), jumlah pengguna QRIS telah mencapai 56,3 juta orang.
Sementara itu, jumlah merchant atau pedagang—UMKM, warung, toko, kantin, dan lainnya—yang menggunakan QRIS mencapai 38 juta merchant. Nilai total transaksi melalui QRIS selama periode tersebut mencapai Rp262 triliun.
“Seandainya QRIS tidak ada atau penggunaannya dihentikan, nilai transaksi sebesar itu berpotensi diambil alih oleh Visa dan Mastercard. Padahal, setiap transaksi dengan kartu dikenakan biaya antara 1–3 persen. Jika hanya 1 persen dari total transaksi QRIS dialihkan ke Visa dan Mastercard, mereka bisa memperoleh sekitar Rp2,6 triliun hanya dalam tiga bulan,” terang Rahmat.
Ia menjelaskan bahwa Amerika khawatir jika QRIS semakin meluas, tidak hanya di kalangan UMKM, tetapi juga perusahaan besar dan ritel modern.
Ini tentu akan mengurangi ketergantungan Indonesia pada sistem pembayaran milik Visa dan Mastercard. Apalagi saat ini QRIS juga mulai diterapkan di negara-negara ASEAN, seperti Malaysia dan Thailand, dan ke depan akan menyusul Vietnam.
“Sebebenarnya Indonesia tidak perlu terlalu responsif terhadap tekanan ini. Belajarlah dari China, yang tidak langsung bereaksi,” ujar Rahmat.
Jika Indonesia terlihat panik, serangan dari Amerika bisa semakin masif. Rahmat menyebut bahwa ini adalah tugas bersama untuk mengawal agar pemerintah tidak tunduk pada tekanan Amerika.
Rahmat mendorong pemerintah untuk menggunakan diplomasi yang cerdas. Jika memang mau bekerja sama, bisa dinegosiasikan.
Skema kerja sama sebenarnya sudah ada di BI, yaitu: penyedia jasa pembayaran asing harus bekerja sama dengan perusahaan lokal dan hanya boleh memiliki maksimal 20 persen saham.
“Tapi tetap, sikap Indonesia jangan terlalu keras, karena pihak seperti Donald Trump bisa lebih tebal (serangannya),” pesannya. (saf/ipg)