
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur menyatakan bahwa Indonesia harus memanfaatkan ketegangan geopolitik global yang terus meningkat seperti badai perang dagang AS–China dan eskalasi konflik Israel–Iran, sebagai katalisator untuk lompatan ekonomi strategis.
Adik Dwi Putranto Ketua Umum Kadin Jawa Timur mengatakan bahwa dunia saat ini tengah memasuki fase transformasi geopolitik yang fundamental.
“Dua poros konflik besar yang memengaruhi pasar global saat ini justru membuka peluang baru bagi produk ekspor Indonesia, asalkan kita mampu bergerak cepat dan cerdas,” ujar Adik dalam keterangannya, Kamis (26/6/2025).
Adik mengatakan, perang dagang antara Amerika Serikat dan China sejak 2018 yang belum mereda, kini memasuki babak baru.
Amerika Serikat telah menerapkan tarif tinggi hingga 145 persen untuk produk China, sementara produk Indonesia hanya dikenai tarif 10–32 persen. Kondsis ini membuat produk Indonesia jauh lebih kompetitif di pasar Amerika Serikat.
“Buktinya, ekspor Indonesia ke AS melonjak 48% dalam lima tahun terakhir, dari US$17,8 miliar pada 2019 menjadi US$26,3 miliar di 2024. Kadin memproyeksikan potensi tambahan ekspor hingga US$1,7 miliar, khususnya di sektor tekstil, garmen, alas kaki, elektronik, dan furnitur,” jelasnya.
Namun, lanjut Adik, keuntungan itu bukan tanpa ancaman. Produk China yang tak lagi masuk AS kini beralih ke pasar domestik Indonesia dengan harga sangat murah. Hal ini memperburuk persaingan di dalam negeri.
Tak hanya itu, penurunan harga komoditas seperti batubara, yang anjlok 30 persen dari US$101 ke US$69 per ton, menambah tekanan. Di saat bersamaan, praktik dumping dan penyelundupan menjadi momok serius yang harus diantisipasi dengan kebijakan proteksi yang lebih kuat.
Sementara itu di belahan dunia lain, konflik Israel–Iran sejak pertengahan Juni 2025 mengancam stabilitas jalur perdagangan energi global. Harga minyak melonjak hingga 20 persen menjadi US$74 per barel.
Bagi Indonesia, ini berdampak pada kenaikan biaya produksi ekspor, khususnya pada barang yang memerlukan energi tinggi seperti bahan kimia dan tekstil.
Krisis juga mengancam stabilitas pelayaran di Selat Hormuz, jalur vital yang dilalui 25 persen perdagangan minyak laut global. Ketegangan tersebut bakal berdampak pada kenaikan biaya logistik, lonjakan premi asuransi maritim, dan keterlambatan pengiriman.
“Namun di balik itu semua, peluang tetap ada. Ekspor Indonesia ke Israel yang mencapai US$165 juta pada 2023 bisa dialihkan ke pasar Timur Tengah yang lebih besar. Ekspor ke Arab Saudi senilai US$2,08 miliar menunjukkan potensi besar yang bisa digarap, terutama dengan dukungan CEPA Indonesia, UAE yang mulai berlaku sejak September 2023,” katanya.
Dalam kondisi ini Kadin mengusung strategi ekspor berbasis lima pilar dan tujuh langkah konkret untuk menjawab tantangan ini.
Lima pilar tersebut meliputi diversifikasi pasar dan produk strategis, peningkatan daya saing produk, efisiensi rantai pasok, mitigasi risiko geopolitik, dan diplomasi ekonomi aktif.
Selain itu langkah konkret lain adalah pembentukan sistem peringatan dini geopolitik, pendirian Export Center 2.0 di setiap provinsi, serta program matching fund bagi UKM untuk adaptasi sertifikasi internasional dan teknologi ekspor. Inovasi keuangan seperti asuransi ekspor dengan cakupan risiko geopolitik juga tengah disiapkan.
Dalam skenario optimis, Indonesia menargetkan nilai ekspor sebesar US$300 miliar pada 2030. Bahkan dalam skenario pesimis dengan konflik yang terus berlanjut, target minimum masih ditetapkan di angka US$250 miliar—dengan fokus pada substitusi pasar dan ketahanan.
“Kita tidak boleh berpikir biasa-biasa saja di masa yang luar biasa. Krisis ini adalah momentum emas untuk mentransformasi ekspor kita dari sekadar penghasil bahan mentah menjadi pemimpin produk bernilai tinggi di pasar dunia,” pungkas Adik.(wld/ipg)