
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyarankan pemerintah mengatur pemberian sanksi administratif kepada pemberi kerja dan peserta dari kelompok mampu secara ekonomi yang tidak membayar iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
“Saran kami, kami merekomendasikan pengenaan sanksi administratif secara lebih clear kepada mereka yang mampu tapi tak mau membayar,” kata Kunta Wibawa Dasa Nugraha Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemenkes dalam rapat bersama Panitia Kerja (Panja) JKN Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (7/5/2025).
Hal itu, lanjutnya, guna menindaklanjuti persoalan mengenai tingginya jumlah peserta JKN berstatus non-aktif, baik karena menunggak iuran atau mutasi sehingga menyebabkan penerimaan iuran dari program tersebut menjadi tidak optimal.
Dia menyebut, rendahnya penerimaan iuran berpotensi menyebabkan Program JKN tidak dapat membiayai pelayanan kesehatan yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat.
Selain pemberian sanksi administratif, Kemenkes juga menyarankan adanya perbaikan penetapan Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) Pemerintah Daerah melalui pemanfaatan Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).
Terakhir, Kemenkes juga merekomendasikan adanya pemutakhiran data peserta JKN yang non-aktif.
“Ini mungkin saja mereka sudah meninggal atau memang tidak mampu lagi. Itu nanti bisa dimasukkan ke PBI,” kata Kunta, dilansir Antara.
Sebelumnya, dalam kesempatan yang sama Kunta juga memaparkan terkait tren kepesertaan JKN berstatus non-aktif periode 2019–2024.
Dia menyampaikan terdapat peningkatan jumlah kepesertaan JKN berstatus non-aktif, seperti pada tahun 2024 yang mencapai 55,4 juta orang, meningkat menjadi 56,8 juta orang pada tahun 2025.
Edy Wuryanto Anggota Komisi IX DPR RI telah meminta pemerintah untuk segera mencarikan solusi agar peserta tidak aktif menjadi aktif kembali, agar dapat mewujudkan jaminan kesehatan semesta serta meningkatkan BPJS Kesehatan.
Dari seluruh peserta yang nonaktif tersebut, kata dia, per 29 Februari 2024 total tunggakan iuran sebanyak Rp20,59 triliun.(ant/dra/rid)