
Mahkamah Perdagangan Internasional Amerika Serikat (AS) pada, Rabu (28/5/2025), memblokir sebagian besar tarif yang diberlakukan oleh Donald Trump Presiden, dengan menyatakan bahwa Trump telah melampaui kewenangannya saat mengenakan tarif menyeluruh terhadap negara-negara mitra dagang AS.
Dalam putusannya, Pengadilan Perdagangan Internasional (Court of International Trade) itu menyatakan bahwa Konstitusi AS memberikan hak eksklusif kepada Kongres untuk mengatur perdagangan dengan negara lain, dan wewenang ini tidak dapat digantikan oleh kekuasaan darurat presiden untuk melindungi ekonomi.
“Pengadilan tidak menilai kebijakan tarif Presiden dari sisi kebijaksanaan atau efektivitasnya. Penggunaan tarif tersebut dianggap tidak sah bukan karena tidak bijak atau tidak efektif, tetapi karena hukum federal tidak mengizinkannya,” tulis panel tiga hakim dalam putusan tersebut yang dikutip Reuters, Kamis (29/5/2025).
Pasar Merespons Positif, Pemerintah Ajukan Banding
Pasar keuangan menyambut gembira keputusan tersebut. Nilai tukar dolar AS menguat terhadap euro, yen, dan franc Swiss. Sementara itu, indeks futures Wall Street dan pasar saham Asia juga mengalami lonjakan.
Pengadilan memerintahkan pemerintahan Trump untuk menerbitkan perintah baru yang sesuai dengan keputusan tersebut dalam waktu 10 hari. Beberapa menit setelahnya, pemerintah mengajukan pemberitahuan banding dan mempertanyakan wewenang pengadilan.
Putusan tersebut langsung membatalkan semua kebijakan tarif Trump yang didasarkan pada International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) sejak Januari. Undang-undang ini awalnya dirancang untuk menghadapi ancaman luar biasa selama kondisi darurat nasional.
Namun, putusan ini tidak menyentuh tarif sektoral seperti otomotif, baja, dan aluminium yang diberlakukan dengan undang-undang berbeda. Keputusan pengadilan ini dapat diajukan banding ke Pengadilan Banding Federal di Washington D.C. dan bahkan ke Mahkamah Agung AS.
Kebijakan Tarif Trump Terpukul
Selama masa kepresidenannya, Trump menjadikan tarif sebagai senjata utama dalam perang dagangnya dengan berbagai negara, termasuk China dan Uni Eropa. Strategi ini telah mengacaukan alur perdagangan global dan membuat pelaku usaha kesulitan menyesuaikan rantai pasok, tenaga kerja, serta harga produk.
Seorang juru bicara Gedung Putih mengatakan bahwa defisit perdagangan AS adalah “darurat nasional yang telah menghancurkan komunitas lokal, meninggalkan pekerja, dan melemahkan basis industri pertahanan kami.”
“Bukan wewenang hakim yang tidak terpilih untuk menentukan cara mengatasi darurat nasional,” ujar Kush Desai, juru bicara tersebut.
Putusan ini menjadi pukulan besar bagi strategi Trump untuk menekan negara lain melalui tarif tinggi. Tanpa leverage tersebut, pemerintahan Trump harus mencari cara baru atau jalur negosiasi yang lebih lambat.
Meski begitu, analis dari Goldman Sachs mencatat bahwa keputusan ini tidak menghalangi tarif spesifik sektoral dan bahwa Trump masih memiliki celah hukum lain untuk memberlakukan tarif menyeluruh dan spesifik negara.
“Putusan ini menjadi hambatan bagi strategi tarif pemerintahan Trump dan menambah ketidakpastian, meskipun mungkin tidak mengubah hasil akhir bagi sebagian besar mitra dagang utama AS,” tulis analis Alec Phillips.
Respons Global dan Dunia Usaha
Reaksi pemerintah Asia cenderung hati-hati. Menteri Ekonomi Jepang menyatakan akan mempelajari keputusan tersebut, sementara Bank of Korea memperkirakan tarif efektif terhadap ekspor Korea Selatan turun dari 13,3 menjadi 9,7 persen. Di Hong Kong, Menteri Keuangan menyebut keputusan ini “setidaknya akan membawa Trump kembali ke akal sehat.”
Putusan ini muncul dari dua gugatan satu diajukan oleh Liberty Justice Center mewakili lima pelaku usaha kecil, dan satu lagi oleh 12 negara bagian AS yang menentang tarif Trump.
Para pengusaha tersebut, termasuk importir wine di New York dan produsen alat musik edukatif di Virginia, menyebut tarif tersebut membahayakan kelangsungan usaha mereka.
“Jika tarif yang digugat ini dianggap ilegal bagi para penggugat, maka tarif tersebut ilegal bagi semua pihak,” tulis pengadilan.
Dan Rayfield Jaksa Agung Oregon, yang memimpin gugatan dari negara bagian, menyebut tarif Trump tidak sah, gegabah, dan merugikan ekonomi.
“Putusan ini menegaskan bahwa hukum harus dihormati, dan keputusan perdagangan tidak boleh dibuat berdasarkan kehendak sepihak Presiden,” katanya.
Trump sendiri mengklaim memiliki kewenangan luas berdasarkan IEEPA, yang selama ini digunakan untuk menjatuhkan sanksi terhadap musuh negara atau membekukan aset. Namun, ia menjadi presiden pertama yang menggunakan UU ini untuk memberlakukan tarif.
Departemen Kehakiman berargumen bahwa gugatan tersebut seharusnya ditolak karena para penggugat belum membayar tarif dan hanya Kongres yang berhak menantang darurat nasional yang ditetapkan Presiden berdasarkan IEEPA.
Trump menetapkan tarif 10 persen menyeluruh atas semua impor awal April dengan tarif lebih tinggi untuk negara-negara dengan defisit dagang besar terhadap AS, terutama Tiongkok.
Namun seminggu kemudian, tarif spesifik negara ditunda selama 90 hari, sementara tarif dasar 10 persen tetap berlaku bagi sebagian besar negara.
Pada 12 Mei, tarif tinggi untuk Tiongkok juga diturunkan sementara, seiring proses negosiasi jangka panjang. Kedua negara sepakat menurunkan tarif satu sama lain selama sedikitnya 90 hari. (bil/ham)