Senin, 30 Juni 2025

Pengamat Pajak E-Commerce 0,5 Persen Marketplace Bukan Beban Baru, Justru Ciptakan Keadilan

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi. Belanja online. Foto: Pixabay

Rencana pemerintah memungut Pajak Penghasilan (PPh) 22 sebesar 0,5 persen dari para pedagang online di platform e-commerce dinilai tepat oleh pengamat perpajakan.

Fajry Akbar Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) mengatakan, kebijakan ini diproyeksikan meningkatkan kepatuhan wajib pajak sekaligus menciptakan keadilan bagi pelaku usaha yang sudah patuh.

Selain itu, menurutnya kebijakan pungutan melalui marketplace merupakan kelanjutan dari mekanisme yang sudah lebih dulu diterapkan pada platform digital asing seperti Netflix dan Spotify. Menurutnya, sistem ini sudah teruji pada layanan digital asing.

“Marketplace nanti akan memungut PPh 22 dan menyetorkannya ke otoritas. Mereka juga akan memberikan bukti potong. Ini bukan jenis pajak baru, hanya perubahan mekanisme. Bagi UMKM yang selama ini sudah patuh, seharusnya tidak khawatir,” terang Fajry dalam program Wawasan Suara Surabaya, Senin (30/6/2025).

Sebelumnya, kebijakan ini menyasar pedagang online di marketplace yang memiliki omzet tahunannya di kisaran Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar. Hal itu sejalan dengan tarif PPh final UMKM yang telah berlaku bagi pelaku usaha offline.

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) menegaskan, aturan ini bukan pajak baru, tapi bentuk penyederhanaan pemungutan PPh Pasal 22 di ekosistem digital. Marketplace ditunjuk sebagai pemungut agar prosesnya lebih terintegrasi, mudah, dan adil bagi pelaku usaha.

“Tidak ada beban pajak tambahan bagi yang sudah patuh. Justru ini menciptakan keadilan dengan pelaku usaha offline yang sudah lebih dulu dikenakan pajak serupa,” ujarnya Pengamat Pajak CITA itu.

“Memang tujuan dari mekanisme baru ini adalah untuk meningkatkan kepatuhan dari para merchant, yang sebagian besar adalah UMKM. Mekanisme pemungutan pihak ketiga atau withholding tax ini akan mampu untuk meningkatkan kepatuhan, karena perusahaan pemberi kerja yang memotong PPh karyawan saja tingkat kepatuhannya jauh lebih tinggi,” ujarnya.

Sementara terkait kekhawatiran perpindahan pedagang dari e-commerce ke jalur informal seperti media sosial, Fajry mengakui hal itu bisa terjadi. Namun, risiko bertransaksi di media sosial menurutnya jauh lebih tinggi karena rentan penipuan.

“Kalau ada penipuan di sosial media, orang nggak bisa hold gitu. Marketplace lebih aman. Jadi tidak selamanya orang akan pindah. Saya sendiri kalau beli di sosial media, ujung-ujungnya transaksinya tetap di marketplace,” jelasnya.

Fajry menyarankan pemerintah untuk memperkuat pengawasan transaksi di luar marketplace agar tidak menjadi celah penghindaran pajak.

“Yang perlu dilakukan pemerintah adalah memastikan transaksi di luar marketplace juga patuh, agar tidak terjadi pelarian dari ekosistem formal. Ini soal equality, perlakuan yang adil,” tegasnya. (bil/iss)

Berita Terkait


Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Surabaya
Senin, 30 Juni 2025
30o
Kurs