
Prabowo Subianto Presiden RI resmi melakukan perombakan Kabinet Merah Putih pada Senin (8/9/2025) sore. Salah satu keputusan paling mengejutkan adalah pencopotan Sri Mulyani Indrawati dari jabatan Menteri Keuangan (Menkeu), dan pengangkatan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai penggantinya.
Purbaya Yudhi Sadewa merupakan alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) yang kemudian menekuni bidang ekonomi hingga meraih gelar doktor. Sejak September 2020 lalu, ia menjabat sebagai Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), sebelum ditunjuk menjadi Menkeu.
Meski memiliki latar belakang akademik dan pengalaman lembaga, publik diniilai belum sepenuhnya mengenal visi fiskal menteri berusia 61 tahun itu.
“Kalau dilihat dari sisi ketokohan di bidang ekonomi, jauh sekali antara Pak Purbaya dengan Bu Sri Mulyani. Saya lihat IHSG mulai merah karena Bu Sri Mulyani dicopot. Apalagi Bu Sri Mulyani juga punya banyak track record hingga lembaga ekonomi global,” kata Jaya Darmawan, peneliti ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios) ketika mengudara di Radio Suara Surabaya, Senin sore.
Jaya juga menyoroti tantangan yang akan dihadapi Purbaya sebagai Menkeu baru. Mulai dari penerimaan pajak yang belum optimal, hingga utang pemerintah yang sudah menembus level mengkhawatirkan.
“Tahun depan kita harus membayar utang dan bunganya hingga Rp1.300 triliun lebih. Nah, ini tantangan yang sangat besar untuk Pak Purbaya yang dalam pandangan publik profilnya lebih di bawahnya Bu Sri Mulyani,” terangnya.
Jaya menegaskan bahwa Indonesia butuh reformasi fiskal menyeluruh: mulai dari mendorong sistem pajak progresif, menaikkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) hingga Rp7 juta, menurunkan PPN menjadi 8 persen, sampai pada efisiensi anggaran yang benar-benar berdampak pada masyarakat. Selain itu, Jaya juga mendorong pemerintah untuk mencopot wakil menteri yang rangkap jabatan di BUMN.
“Jadi secara secara meritokrasi, ini masih banyak PR. Nah, Pak Purbaya dalam hal ini karena menteri keuangan sangat powerful tupoksinya ya, berani atau tidak melakukan disiplin-disiplin fiskal seperti itu? Kalau berani, kami berani bilang optimis,” tegasnya.
Meski selama ini Sri Mulyani dianggap sebagai simbol teknokrasi dan disiplin fiskal, Jaya menyebut bahwa dalam beberapa tahun terakhir, terutama mulai di periode kedua Joko Widodo Presiden ke-7 RI, arah kebijakan fiskal cenderung keluar dari pakem ideal.
“Beliau dulu dikenal dengan anggaran yang efisien, transparan, dan berbasis dampak. Tapi dalam 5–6 tahun terakhir, disiplin itu mulai longgar. Mungkin karena tekanan politik dari atas,” kata Jaya.
Dengan catatan itu, Jaya mempertanyakan apakah Purbaya, yang dinilai belum memiliki ketokohan setara Sri Mulyani, akan mampu menjaga integritas fiskal dalam kondisi politik yang semakin dinamis.
Kini pasar dan publik kini menunggu langkah awal dan pernyataan resmi dari Purbaya. Pernyataan pertama Purbaya akan jadi indikator, apakah ia akan menenangkan publik dengan pendekatan teknokrat, atau justru mengambil jalan populis demi kepentingan jangka pendek. (saf/ipg)