
Kenaikan tarif ekspor produk perikanan Indonesia ke Amerika Serikat sebesar 32% mulai 1 Agustus 2025 dinilai menjadi pukulan telak bagi sektor perikanan nasional. Riyono Caping, anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PKS, menyebut kebijakan tarif era Trump ini bisa melumpuhkan usaha budidaya dan perikanan tangkap yang selama ini menjadi tulang punggung ekspor komoditas laut Indonesia.
“Amerika Serikat adalah tujuan ekspor kelima terbesar bagi perikanan Indonesia. Kebijakan tarif baru ini akan berdampak besar pada volume dan kapasitas ekspor kita, terutama untuk produk unggulan seperti udang dan ikan hidup,” ujar Riyono dalam keterangannya, Selasa (15/7/2025).
Data tahun 2024 mencatat ekspor produk perikanan Indonesia ke AS mencapai USD 1,92 miliar, dengan mayoritas berasal dari krustasea olahan, moluska, dan krustasea beku. Namun, keputusan AS untuk menaikkan tarif menjadi 32% memicu kekhawatiran luas di kalangan pelaku industri, terutama petambak kecil.
Riyono yang juga menjadi pembina petambak udang vaname di kawasan Pantura, menyampaikan keresahannya. “Saya membina lebih dari 100 petambak aktif dengan omset lebih dari Rp10 miliar per bulan. Dampaknya sudah terasa, harga udang terus menurun,” ujarnya.
Harga udang size 100 saat ini berada di kisaran Rp45.000/kg, size 80 turun ke Rp49.000/kg, dan size besar 30 hanya mencapai Rp78.000/kg, padahal sebelumnya bisa menyentuh Rp83.000/kg.
“Penurunan harga sekitar Rp3.000 per kilogram sangat memberatkan, apalagi bagi petambak kecil. Jika ini terus berlanjut dalam tiga bulan ke depan, banyak yang akan bangkrut dan berhenti budidaya,” jelas Riyono.
Ia juga menilai kegagalan diplomasi perdagangan Indonesia dengan AS menjadi catatan serius. “Dulu AS cukup terbuka dengan produk perikanan kita, sekarang kenapa jadi berubah? Ini perlu dievaluasi secara menyeluruh,” tegasnya.
Riyono mendesak pemerintah segera turun tangan. “Negara harus hadir. Petambak dan nelayan kecil harus dilindungi, jangan dibiarkan menghadapi situasi sulit ini sendirian,” katanya.
Ia mendorong pemerintah memberikan insentif, bantuan sarana prasarana, serta segera membuka pasar alternatif seperti Eropa dan Tiongkok yang dinilai lebih kompetitif.
“Diplomasi perdagangan perlu ditingkatkan hingga ke level kepala negara. Kita harus cari pasar baru, agar produk perikanan kita tetap bisa terserap dan petambak bisa terus bertahan,” pungkasnya.(faz/iss)