Dengan rol rambut, serta baju daster, seorang Ibu menemui tetangganya. “Oalah bu, aku iki sedih, bingung, anak ku sakit tapi bojo ku kok gak moleh-moleh. Aku nyilih duite sampean sek yo gawe nang dokter, engko tak balekno,” ujarnya.
Sang ibu yang dicurhati tetangganya itu senyum lalu beranjak dari kursinya. Masuk kendala kamar lalu keluar sambil menghitung sejumlah uang dan diberikan kepada tetangganya itu.
Melihat itu, ibu-ibu lainnya yang memang menjadi penonton pementasan teater oleh Ibu-ibu Kelurahan Putat Jaya, Surabaya itu tersenyum. Jumat (19/6/2015) siang Ibu-ibu Keluarahan Putat Jaya menampilkan pentas teater berkisah keseharian pergulatan hidup.
Mereka yang tergabung dalam Kader Pos Curhat ini, secara berkala menampilkan berbagai kegiatan. Di antaranya adalah teater, seperti yang ditampilkan kali ini, sebagai satu di antara pelepasan kepenatan jiwa, terapi jiwa.
Pos Curhat dibentuk sebagai sarana bagi warga masyarakat untuk menampung keluhan, catatan, atau bahkan curhatan keluarga mereka dan difasilitasi oleh pemerintah, serta kalangan kampus di Surabaya.
Drama pendek berdurasi sekitar 90 menit itu didukung tim mahasiswa serta Dosen Fakultas Psikologi serta Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS).
Pos Curhat adalah pengabdian masyarakat Fakultas Psikologi sekaligus Seminar Karya Filsafat UKWMS yang dirancang dan diterapkan pada masyarakat sekitar bekas lokalisasi Putat Jaya.
“Drama atau teater ini media melepas kepenatan hidup dan proses rehat jiwa. Diharapkan setiap kader, atau setiap individu dapat membongkar tubuh, jiwa, perasaan, pikiran, bergelut dengan problem yang mereka punya dan potensi dalam tubuh mereka,” ujar Romo Aloysius Widyawan Louis Dosen Fakultas Filsafat UWKMS.
Hadir menyaksikan pementasan drama teater warga sekitar lokalisasi Putat Jaya ini, Dyah Katarina S.Psi, dan Esthi Susanti M.Si bersama sejumlah mahasiswa UKWMS dibimbing Romo Aloysius Widyawan Louis.
“Ini adalah metode ampuh untuk pemberdayaan diri. Individu harus memiliki pesona diri, serta pribadi sendiri. Itu penting agar tidak ikut merasa bersalah dalam sebuah keputusan. Dan ibu-ibu ini membuat perdamaian dalam lingkungannya,” papar Esthi Susanti, M.Si, aktivis Advokasi Hak Perempuan dan Anak di Hotline Surabaya, pada suarasurabaya.net.(tok/ipg)