
Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya mengusulkan pengenalan karakteristik Kota Surabaya yang sarat kearifan lokal dalam agenda internasional Prepatory Committe Meeting 3 (PrepCom3) for Habitat III (UN Habitat III) Juli 2016 nanti.
“Kita bisa kenalkan Surabaya melalui kearifan lokalnya,” jelasnya kepada hadirin Tim Konsolidasi dan Tim Pakar Sekretariat Nasional HABITAT Kemen PU Dirjen Cipta Karya di Hotel Garden Palace, Kamis (24/3/2016).
Tim Konsolidasi dan Tim Pakar bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat membahas substansi dan materi untuk penyelenggaraan Pertemuan Komite Persiapan ketiga (Prepcom).
Risma mengatakan, ingin mengenalkan kesenian tradisional Surabaya sebagai bagian kearifan lokal kepada lebih dari 2.500 peserta dari 193 negara dalam pertemuan tersebut.
Risma juga ingin mengajak peserta untuk turun ke lapangan, melihat secara langsung bagaimana Kota Surabaya menangani permasalahan perkotaan.
Kearifan lokal lain yang ingin dia kenalkan kepada peserta adalah urban farming yang ada di Surabaya, yang menurutnya, dapat memperkuat ketahanan pangan warga kota.
“Nantinya juga ada pengenalan karakteristik kota seperti taman, embung, pengolahan kompos, lalu juga ada kampung lawas, kampung lingkungan, kampung unggulan, kampung pendidikan, kampung pertanian perkotaan, sentra kuliner dan aktifitas masyarakat tradisional,” katanya.
Pemkot Surabaya, kata Risma, juga telah menyiapkan website yang berisi agenda selama UN Habitat III, serta persiapan seperti dokter pribadi, kendaraan pribadi, LO, serta souvenir bagi masing-masing peserta.
“Sekaligus saya ingin ada nama masing-masing negara di dadak merak reog, juga di bundaran Waru nanti ada bendera untuk semua negara yang hadir,” ujarnya.
Adapun hiburan yang bersifat kearifan lokal yang akan disuguhkan antara lain festival tari, musik dan wayang (wayang kulit, wayang orang, wayang India, dan wayang Potehi).
Hanya saja, dalam penyambutan tamu dari 193 negara itu Risma memilih tidak menampilkan ludruk. Sebab menurutnya, para peserta kemungkinan besar tidak akan mampu menangkap humor yang termuat di dalamnya.
“Karena ludruk itu kan seperti stand up comedy. Jadi susah mereka bisa mengerti. Iya kalau kita masih bisa ketawa,” ujarnya. (den/dop/ipg)