
Sabtu (14/1/2016) pagi, tangan terampil Suwito (55) dan Tukimun (60) menari di antara jarum, benang nilon dan sepatu. Sol sepatu yang mulai terkelupas, dia jahit rapi dan kuat kembali sehingga bisa digunakan lagi oleh pemiliknya.
Memiliki jargon Jalinan Cintamu Tak Sekuat Jahitanku, membuat duo tukang jahit sol sepatu ini banyak menarik pelanggan. Hampir setiap hari ada saja orang yang datang untuk order agar sepatu atau sandalnya yang rusak diperbaiki di sini.
“Kami buka mulai pukul 07.00 WIB sampai 16.00 WIB,” ujar Suwito warga Kebonsari Gang 2 ini kepada suarasurabaya.net.
Suwito mengaku sudah setahun menekuni pekerjaan yang butuh ketelatenan dan kesabaran ini. Dalam sehari, mereka berdua bisa mengerjakan 10 sampai 20 sandal dan sepatu.
Mereka memberi tarif cukup terjangkau. Untuk jahit sepasang sepatu dipatok harga Rp15 ribu. Jika kerusakan parah dan membutuhkan untuk dilem maka nambah ongkos Rp5 ribu lagi.
“Kalau hanya lem saja ya Rp10 ribu satu pasang,” kata Suwito.
Keputusan bekerja mandiri sebagai tukang jahit sepatu dipilih Suwito ketika awal 2016 lalu dia keluar dari pekerjaannya di sebuah home industry sandal di kawasan Lebak Arum Kenjeran. Dia keluar karena sempat terkena sakit jantung dan stroke. Setelah pulih dari stroke, dia kemudian bingung bagaimana bisa menghasilkan uang.
“Dengan keahlian yang saya punya, saya mencoba membuka jasa jahit sepatu ini. Saya sudah sembilan tahun bekerja ikut orang,” katanya.
Dengan pekerjaan ini, Suwito dan Tukimun mengaku sehari bisa mendapatkan penghasilan bersih Rp100 ribu sehari. Menurutnya, dia sangat bersyukur masih bisa mendapat penghasilan untuk anak dan istrinya dengan kondisinya yang terbatas.
“Saya sudah tak kuat lagi kerja berat. Kerja begini juga tidak tentu, kalau ramai ya lumayan bisa untuk makan. Saya bersyukur masih bisa mencari uang untuk hidup,” katanya.
Usaha jasa jahit sepatu ini awalnya ditekuni Suwito sendiri. Lalu, ada temannya Tukimun yang kemudian bergabung. Kehadiran Tukimun menurutnya membuat dia semakin semangat karena Tukimun lebih fit secara fisik. Untuk garapan jahit sol sepatu yang keras semua ditangani Tukimun. Sementara untuk sepatu kets dan sandal yang bahannya tidak keras bisa dia tangani sendiri.
“Pokoknya kami berbagi tugas, yang bahannya keras bagian pak Tukimun. Kalau ngelem dan jahit bahan tidak keras saya masih bisa,” katanya.
Bertempat di pinggir jalan Kebonsari ini, stan usaha jasa dua tukang jahit sepatu ini tidak gratis. Mereka harus membayar uang sewa Rp200 ribu perbulan kepada pemilik rumah atas lahan yang ditempati.
“Kami bayar masing-masing Rp200 ribu perbulan kepada pemilik rumah. Karena kami bekerja tepat di depan rumah beliau,” kata ayah dua anak ini.
Menurut Suwito, uang sewa itu tidak memberatkan bagi mereka berdua. Karena untuk sewa stan yang bagus butuh uang puluhan juta.
Dengan penghasilan sehari hanya Rp100 ribu dan istrinya yang juga bekerja sebagai buruh rumah tangga, menurutnya kehidupan keluarga Suwito masih pas pasan. Sebab, dia masih memiliki tanggungan menyekolahkan anak keduanya yang masih SMP.
Dia berharap ada bantuan dari pemerintah untuk mengembangkan usaha jasa ini. Agar bisa menyewa tempat dan membeli alat-alat yang lebih baik.
“Kami berharap kami diperhatikan. Jangan kemudian kami diusir,” katanya. Dia mengaku beberapa kali tempatnya ini didatangi Satpol PP untuk diminta pindah ke pasar. Mereka menolak karena merasa tidak mengganggu lalu lintas karena tempatnya tidak di jalan raya. (bid/iss)