
Willem Rampangilei Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menegaskan, pihaknya memprediksi puncak kontestasi politik 2019 bersamaan dengan ancaman bencana. Aspek politik penetapan caleg sudah berlalu setelah Desember ini.
Kata Willem, ke depan yang kritis adalah 17 April 2019 (Pilpres), masa kampanye sampai dengan 13 April, penyelesaian sengketa hasil Pemilu sampai dengan September 2019, lalu pengucapan pelantikan dan seterusnya.
Melihat time frame (kurun waktu) itu dikaitkan dengan potensi bencana Hidrometeorologi, ada ancaman bencana sepertibanjir, longsor maupun puting beliung.
“Sampai dengan April 2019 itu ada ancaman bahaya banjir, longsor dan puting beliung. Lalu Mei, Juni ada puting beliung, kemudian dari Juli sampai dengan Oktober adalah kekeringan dan karhutla. Lalu Mei sampai dengan Juni itu ada banjir dan longsor,” ujar Willem di kantor BNPB, Jalan Pramuka, Jakarta Timur, Rabu (19/12/2018)
Willem Rampangilei Kepala BNPB. Foto: Faiz suarasurabaya.net
MenurutWillem,pada saat terjadi kegiatan politik tersebut lalu terjadi bencana yang cukup besar tentu akan mempengaruhi penyelenggaraan kegiatan itu.
Untuk itu,kata dia, BNPB telah menyiapkan antisipasi dan kesiapsiagaan menghadapinya.
“Oleh karena itu kami juga sudah mengantisipasi meningkatkan kesiapsiagaan apabila bencana besar itu terjadi. Tentunya kita berharap tidak akan terjadi bencana besar untuk tahun depan,” jelasnya.
Kalau melihat dari ancaman potensi bencana geologi, kata dia, sepanjang tahun tidak ada orang tahu kapan akan terjadi gempa dan dimana terjadi.
Intinya, menurut Willem, semua tahu bahwa Indonesia adalah negara yang sangat rawan bencana. Indikatornya, kejadian bencana setiap tahun diatas 2500. Kemudian bencana itu juga berdampak terhadap kerusakan ekonomi lingkungan maupun kehidupan masyarakat.
Willem menegaskan bahwa Indonesia cakupan wilayahnya luas yang rawan bencana, sehingga mau tidak mau harus menyesuaikan cara hidup atau mindset masyarakatnya di daerah rawan bencana.
“Oleh karena itu menurut saya, kita perlu mengadakan perubahan paradigma. Kalau dulu budaya kita selalu budaya respon, artinya kalau terjadi bencana baru kita bergerak untuk mengatasi bencana itu atau memenej bencana dan mengatasi dampaknya. Untuk ke depan sudah tidak bisa begitu lagi, budaya sadar bencana itu adalah budaya yang punya sense untuk melakukan mitigasi dan pencegahan kemudian ada budaya untuk meningkatkan kesiapsiagaan,” pungkas Willem.(faz/ipg)