Jumat, 26 April 2024

MK Tolak Gugatan Judicial Review UU Terkait Penodaan Agama

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilustrasi. Foto: Dok. suarasurabaya.net

Mahkamah Konstitusi (MK), menolak seluruh gugatan Judicial Review Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Penetapan Presiden (PNPS) tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama).

Amar putusan itu dibacakan oleh tujuh Hakim Konstitusi, yaitu Aswanto selaku Ketua merangkap Anggota, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, dan I Dewa Gede Palguna masing-masing sebagai Anggota, Kamis (13/12/2018), di Gedung MK, Jakarta Pusat.

“Mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Hakim Aswanto.

Dalam putusannya, majelis hakim menanggapi petitum para Pemohon yang meminta bahwa frasa ‘golongan’ dalam Pasal 156 dan Pasal 157 ayat (1) KUHP dimaknai tidak termasuk golongan berdasarkan agama.

Mahkamah mempertimbangkan, Pasal 156 KUHP adalah ketentuan mengenai ancaman pidana yang dapat dikenakan kepada seseorang yang menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia di muka umum.

Sedangkan Pasal 157 ayat (1) KUHP adalah ketentuan mengenai ancaman pidana yang dapat dikenakan kepada seseorang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang isinya mengandung pernyataan permusuhan, kebencian, atau penghinaan di antara atau terhadap golongan rakyat Indonesia, dengan maksud isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum.

“Kedua ketentuan tersebut pada pokoknya menekankan pada perbuatan yang mengandung pernyataan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan Rakyat Indonesia,” tegas hakim.

Pengertian golongan sebagaimana tertuang dalam Pasal 156 KUHP, menurut majelis adalah tiap-tiap bagian dari Rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Pengertian golongan itu berlaku bukan hanya untuk Pasal 156 KUHP, namun juga terhadap pasal-pasal selanjutnya.

“Benar bahwa KUHP Indonesia merupakan adopsi dari KUHP Belanda yang pada saat itu diberlakukan di Indonesia. Namun, pasal tersebut tidak ada padanannya dalam KUHP Belanda karena di Belanda pada saat itu semua pada umumnya sama (homogen), baik suku bangsa, adat istiadat, bahasa, mau pun agama. Berkebalikan dengan Belanda, Indonesia memiliki keragaman dalam berbagai hal, antara lain, suku bangsa, adat istiadat, dan agama, yang merupakan keniscayaan yang harus dilindungi,” imbuhnya.

Pasal 156 dan Pasal 157 ayat (1) KUHP, sambung Aswanto, merupakan ketentuan yang bertujuan untuk mencegah gejolak sosial yang berbau SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).

Bahwa terkait frasa ‘golongan’ Mahkamah telah menafsirkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017, bertanggal 28 Maret 2018 perihal Pengujian Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dalam Putusan tersebut, frasa ‘golongan’ meliputi/mencakup suku, agama, dan ras. Adapun istilah ‘antargolongan’ tidak hanya meliputi suku, agama, dan ras, melainkan meliputi lebih dari itu yaitu semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi oleh istilah suku, agama, dan ras.

Dengan demikian, memberikan makna bahwa frasa ‘golongan’ tidak termasuk
golongan berdasarkan agama sebagaimana petitum permohonan para Pemohon. Selain meniadakan/menghilangkan perlindungan hukum bagi agama itu sendiri menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon mengenai frasa ‘golongan’ dalam Pasal 156 dan Pasal 157 ayat (1) KUHP yang dimaknai tidak termasuk golongan berdasarkan agama adalah tidak beralasan menurut hukum.

“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, mahkamah berpendapat pemohonan para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 156 dan Pasal 157 ayat (1) KUHP serta Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama tidak beralasan menurut hukum,” tegasnya.

Sebelumnya, Aisyah Sharifa dan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak selaku pemohon mengajukan uji materi ketentuan Pasal 156a KUHP jo Pasal 4 UU No.1/PNPS/1965 karena dianggap telah merugikan hak konstitusionalnya.

Menurut para Pemohon, ketentuan pasal-pasal a quo multitafsir oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim), di mana tidak pernah ada perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatan di dalam Keputusan Bersama Tiga Menteri (Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri).

Dengan adanya multi tafsir dalam penerapan pasal-pasal a quo oleh aparat penegak hukum, para Pemohon dapat dijadikan tersangka, terdakwa, dan bahkan terpidana. (rid/tin/rst)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Jumat, 26 April 2024
30o
Kurs