Jumat, 26 April 2024

Google Akui Kesulitan Mendapatkan Kepercayaan

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Sundar Pichai CEO Google. Foto: Reuters

Dalam video yang bocor tentang rapat internal, Sundar Pichai CEO Google, mengakui perusahaan tersebut mengalami kesulitan mempertahankan kepercayaan karyawan dalam manajemen.

Dikutip Cnet dilansir Antara, Minggu (27/10/2019), video tersebut juga mengungkap seorang eksekutif Google yang mendukung perekrutan mantan pejabat pemerintah. Pejabat itu membela kebijakan Donald Trump tentang larangan perjalanan bagi muslim ke AS.

Selama pertemuan mingguan untuk karyawan, yang dinamai TGIF tersebut, Pichai mencoba untuk memahami terdapat ketidakpercayaan pada karyawan.

“Saya merasa ada sesuatu yang menyebabkan putusnya kepercayaan dan melihat apa yang bisa kami lakukan untuk ditingkatkan,” ujar Pichai.

“Pasti semakin sulit untuk melakukan itu pada skala kami melakukannya,” katanya.

Komentar Pichai mengikuti sejumlah perbedaan pendapat karyawan tentang beberapa masalah, mulai dari budaya tempat kerja, proyek Google untuk militer AS, hingga upaya membangun mesin pencari yang disensor untuk China.

Pada November 2018, misalnya, lebih dari 20.000 pekerja tetap dan pekerja kontrak Google dari 50 kantor di seluruh dunia keluar kantor untuk memprotes penanganan perusahaan atas dugaan serangan seksual dan pelanggaran.

Enam bulan kemudian, para pekerja mengadakan aksi mogok kerja untuk memprotes dugaan pembalasan atas aksi unjuk rasa tersebut.

Pada pekan ketiga Oktober 2019, pemimpin perusahaan Google dituduh mengembangkan alat internal untuk mengawasi upaya karyawan yang mengkoordinir protes dan membahas hak-hak buruh.

Google menyebut kabar tersebut “salah” dan mengatakan alat itu dirancang untuk memerangi spam Internet yang terkait dengan kalender dan acara.

Dalam video yang bocor itu, Karan Bhatia Wakil Presiden Google untuk Urusan Pemerintah dan Kebijakan Publik menyampaikan keprihatinan tentang perekrutan Miles Taylor, mantan pejabat Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) yang secara terbuka membela larangan perjalanan Trump.

Bhatia dilaporkan mengatakan perusahaan tidak akan bekerja sama dengan Taylor dalam masalah perbatasan, tapi di bidang kontraterorisme dan keamanan nasional.

Komite Keamanan Dalam Negeri AS telah mendorong berbagai platform teknologi untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam menghapus konten kekerasan.

Pada Mei 2019, Google mengirim surat kepada anggota parlemen AS yang mengatakan telah meninjau lebih dari satu juta video yang diduga teroris di platform YouTube dalam tiga bulan pertama 2019. Google menyebutkan telah menghabiskan “ratusan juta dolar per tahun” untuk mengulas konten.

Awal pekan ini, BuzzFeed News melaporkan beberapa pekerja Google kecewa atas perekrutan Taylor. Bagi para kritikus, langkah itu tampaknya membawa nilai-nilai tersendiri. Sebab ketika larangan Trump diumumkan, Pichai telah menyatakan keberatan tentang hal itu.

Google tidak menanggapi permintaan komentar pada laporan tentang video yang bocor tersebut, demikian Cnet.(ant/tin/dwi)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Jumat, 26 April 2024
29o
Kurs