Minggu, 19 Mei 2024

Kasus Baiq Nuril Bukti Bahwa UU ITE Masih Banyak Disalahpahami

Laporan oleh Agung Hari Baskoro
Bagikan
Prof. Henry Subiakto Staf Ahli Menteri Kominfo RI dalam acara 3rd International Postgraduate Conference on Media and Communication (IPCOMC), Kamis (1/8/2019). Foto: Baskoro suarasurabaya.net

Kasus Baiq Nuril yang terjerat pasal dalam UU ITE menjadi bukti bahwa peraturan perundang-undangan ini masih banyak disalahpahami dalam pelaksanannya. Ini dikatakan Prof. Henry Subiakto Staf Ahli Menteri Kominfo RI.

Ditemui dalam acara 3rd International Postgraduate Conference on Media and Communication (IPCOMC) yang digelar Prodi S2 Media dan Komunikasi Unair, Henry menyatakan, jika menilik dari UU ITE, harisnya Baiq Nuril tidak menjadi terpidana.

“Misalnya kasus Baiq Nuril. Kasus ini jelas. Orang yang jadi korban, kok malah dia yang dipidana. Itu jelas bertentangan dengan prinsip keadilan. Makanya sudah benar kemudian ada amnesty oleh Presiden. Dia kan dijerat pasal 27 ayat 1. Yaitu menyebarkan dengan sengaja atau mentransmisikan informasi elektronik yang isinya melanggar kesusilaan. Harusnya kalau memang baiq nuril itu melanggar kesusilaan, dia sebenarnya harus dibuktikan betul, apa dia menyebarkan secara elektronik,” ujar Henry usai menjadi pemateri di acara tahunan S2 Medkom Unair pada Kamis (1/8/2019) tersebut.

Henry menilai, Baiq Nuril tidak menyebarkan konten asusila dalam pengertian di UU ITE. Dia hanya meminjamkan handphone, dan hal itu bukanlah suatu transaksi elektronik. Hal ini dianggapnya merupakan bahwa UU ITE masih banyak disalahpahami.

Namun, ia menegaskan, bahwa tidak ada pasal bermasalah dalam UU ini. Ia mengatakan, UU ini beberapa kali telah diuji dalam Judicial Review di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun semua dalil yang disampaikan pemohon ditolak.

“Kalau ITE dikatakan bermasalah, bermasalah dimana dulu? Sering Tuduhannya kan pasal karet. Tapi kenyataannya sudah empat kali di Judicial Review di MK, semua pasal yang dipersoalanlan dibenarkan oleh MK. Padahal MK para ahli hukum yang kompeten. Persolannya, orang tidak semuaya memahami ITE. Kalau ada salah tafsir, ya jangan diaalahkan UU nya,” jelasnya.

Ia mengatakan, UU ITE adalah undang-undnag yang prinsipnya berupa ekstensifikasi. Artinya, norma yang ada di dunia fisik, diadopsi dan diberlakukan di dunia maya. UU ITE tidak membuat norma baru.

“Anda boleh gak menipu di dunia fisik, gak boleh. Maka di dunia maya juga gak boleh. Boleh gak mencemarkan nama baik, di sunia maya juga gak boleh,” jelasnya.

Meski begitu, Henry mengaku bahwa UU ITE saja tak cukup untuk menyelesaikan semua persolaan di dunia maya. Ia menyebut, etika dalam bermedia sosial tetap diperlukan untuk menyelesaikan beragam masalah yang ada di dunia maya. Oleh karenanya, masyarakat perlu mendapat pemahaman mengenai etika bermedia sosial. (bas/tin/rst)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya
Kurs
Exit mobile version