Kamis, 2 Mei 2024

Pakar Sejarah Unair Sebut Surabaya Bisa Jadi Pertimbangan Ibu Kota Baru

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Kota Surabaya. Foto: Istimewa

Bulan April lalu, media sempat diramaikan oleh pemberitaan mengenai wacana pemindahan ibu kota ke luar Jawa. Kabar tersebut tak urung memantik reaksi banyak pihak. Termasuk Adrian Perkasa dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga.

“Berbicara mengenai konteks ke-Indonesia-an hari ini, tidak bisa diselesaikan hanya dengan pemindahan pusat kekuasaan saja. Ini bukan solusi,” terang Adrian berdasarkan keterangan tertulis yang diterima suarasurabaya.net, Jumat (24/5/2019).

Menurutnya, pemerintah juga perlu mempertimbangkan daerah lain di Jawa untuk menggantikan Jakarta. Misalnya saja, Surabaya atau kota-kota lain yang berada di Jawa Timur. Sebab diakuinya, bila hingga saat ini Jawa masih menjadi primadona, baik dalam aspek pembangunan, infrastruktur, geopolitik, geostrategis maupun geokultural.

“Kita lihat saja peta-peta atau pusat kekuasaan di Jawa sejak jaman dulu. Suka nggak suka, orang bilang, Jawa itu kunci, ya memang iya,” ujar alumnus Ilmu Sejarah UNAIR itu.

Menurut Adrian, pemerintah perlu mengkaji ulang atau minimal mempertimbangkan daerah lain di Jawa, seperti Surabaya untuk menggantikan Jakarta. Hal itu bukanlah tanpa alasan. Mengingat, Kota Pahlawan sudah cukup mapan dari segi infrastruktur, perekonomian, maupun kondisi demografis.

“Surabaya ini, dari dulu pertumbuhannya pelan sekali. Secara demografis, terus tertahan di angka 3,5 juta terus. Tapi tetap tumbuh secara ekonomi,” terangnya.

Jika ditinjau dari aspek historis, Surabaya merupakan salah satu kota yang pernah tercetus dalam benak Daendels untuk menggantikan Batavia. Kala itu, posisi Surabaya cukup strategis karena dua sungai terbesar di Jawa Timur bermuara di Surabaya. Yakni, Kalimas dan Kali Pegirian. Bahkan secara infrastruktur sudah cukup memadai. Namun, karena hutang VOC yang semakin menumpuk akhirnya Surabaya hanya dijadikan pusat militer.

“Walaupun Surabaya sempat kehilangan pamor sebagai calon ibu kota, tapi di akhir abad ke-19 justru menjadi kota terbesar di Hindia Belanda akibat kemajuan perdagangan dan perkebunan. Mengalahkan Singapura atau setara dengan Hongkong,” tuturnya.

Indikator lain yang membuat Surabaya layak dipertimbangkan adalah dari sisi geokultural. Masyarakat di sini memiliki spirit gotong royong dan terkenal akan sikap guyubnya. Baik dalam toleransi beragama, etnisitas, maupun kebersamaannya. Saling melebur dalam kelompok masyarakat, namun tetap memegang teguh identitas masing-masing.

“Orang Surabaya itu, kelihatannya cak-cuk-cak-cuk, tibak e boloan (ternyata berteman, red). Saya pikir ini merupakan kekuatan yang suka nggak suka kita harus akui. Bahwa, Jawa Timur ini memang memiliki suatu warisan atau kekuatan budaya tak benda,” katanya sembari berseloroh.(tin/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Surabaya
Kamis, 2 Mei 2024
30o
Kurs