Sebanyak 32 perwakilan dari 15 negara terpilih menerima beasiswa dari Facebook Internasional untuk mengikuti Asia Pasific News Literacy Conference untuk merumuskan solusi bagaimana mengatasi perkembangan berita bohong (fake news), misinformation, disinformation, yang menjadi persoalan dunia.
“Kegiatan ini merupakan upaya FB untuk membangun hubungan dan mengembangkan program-program yang dapat mendukung terciptanya ekosistem berita dan media untuk mengatasi persoalan misinformasi,” kata Aya Lowe Integrity and Training Partnership Facebook Asia Pasifik dilansir Antara, Sabtu (29/6/2019).
Kegiatan yang digelar di Kantor Facebook Taiwan dan National Chengchi University (NCCU) Taiwan ini, Indonesia diwakili oleh empat orang yang dinilai Facebook telah melakukan upaya nyata dalam mempromosikan news literacy di Indonesia yaitu Algooth Putrano (Penulis dan Jurnalis); Devie Rahmawati (Founder Klinik Digital Vokasi UI); Feriani Taufik (YCAB); dan Novi Kurnia (Japelidi, UGM).
Salah satu agenda kegiatan ialah diskusi kelompok (working groups) untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan dan kerja. Devie bersama perwakilan dari India, Singapura, Thailand, Myanmar, Filipina, Taiwan dan Amerika Serikat memiliki tugas untuk menyusun masukan agar pelatihan literasi media dapat dilakukan secara praktis dan memiliki dampak yang terukur.
“Kami menghasilkan beberapa rekomendasi di antaranya framework untuk menyelesaikan persoalan berita bohong yaitu 5C: Content, Communication, Context, Consequences dan Collaboration,” kata Devie.
Tidak hanya itu mereka juga merekomendasikan agar pengetahuan tentang mengenali dan menghindari produksi fake news dengan cara membuat aplikasi dan game online. Game ini dapat berupa mengajari mahasiswa misalnya bagaimana memproduksi berita bohong. Ketika mereka tahu proses dan bagaimana bahayanya membuat berita bohong, justru ini yang menjadi kunci melahirkan para marketing anti hoaks.
Selain itu Devie yang juga Ketua Program Studi Vokasi Humas UI mengusulkan agar platform media sosial memberikan insentif (positive reinforcement) kepada semua pengguna platform yang justru aktif menyebarkan berita positif. Insentif beragam dari mulai pemeringkatan di social media hingga insentif nyata berupa jalan-jalan dan sebagainya, akan membuat pengguna terdorong untuk melakukan verifikasi.
Untuk itu diperlukan juga perlindungan hukum bagi para petugas pengecek fakta (fast checker), agar ketika mereka menyampaikan kebenaran bahwa sebuah berita adalah berita bohong, mereka bukan kemudian menjadi sasaran amuk dan tuntutan hukum dari para produsen hoaks.
Pengalaman dari 15 negara benar-benar membuat kami optimis bahwa pekerjaan besar ini dapat terus dilakukan. Mengingat salah satu kunci mengurangi lahirnya aksi terorisme ialah dengan membuka perspektif dan pengetahuan masyarakat melalui program literasi media dan berita.(ant/tin/ipg)