Semburan lumpur di kawasan Kutisari (Blok Kuti) Surabaya berbeda dengan semburan lumpur yang ada di Sidoarjo (Lusi). Ini disampaikan Ir. Moh. Sofyan Hadi Ahli Geologi saat mengudara di Radio Suara Surabaya.
Kata Sofyan, masyarakat diimbau untuk tidak tergesa-gesa memvonis semburan lumpur Kutisari sama dengan di Sidoarjo. “Memang kelihatannya sama-sama keluar cairan tapi ini berbeda,” kata Sofyan Hadi.
Semburan lumpur di Sidoarjo, kata Sofyan, airnya panas dan jumlahnya sangat besar. Sedangkan semburan lumpur di Kutisari ini dimensi dan perilakunya sangat berbeda.
Menanggapi semburan lumpur di Kutisari, Sofyan berpesan, masyarakat harus tetap waspada namun tidak perlu takut. “Yang penting kita mengetahui ini apa sih? Kalau ini sebuah sistem hidrokarbon, mindset kita apa yang bisa kita ambil dan apa resikonya. Kita tidak perlu traumatik apa yang terjadi di lumpur Sidoarjo,” ujar dia.
Jika ditarik ke belakang, Sofyan membeberkan bagaimana sejarah adanya semburan lumpur di Kutisari ini. Pada tahun 1984, mulai dari Krukah sekitar Unitomo-Wonokromo-Kutisari adalah ladang minyak milik Belanda. Kemudian pada 1987, ladang minyak ini diproduksi sampai tahun 1960-an.
“Dan pada 1960-an lebih, ladang minyak ini dianggap tidak produktif sehingga ditinggal. Cara pandang kita, mestinya sebuah ladang minyak meski tidak produktif harusnya dibuat lineasi kawasan tertentu suatu wilayah. Apabila berperilaku A maka perilaku A ini bisa muncul lagi,” katanya.
Secara geologi, lanjut dia, ladang minyak tersebur 300-1000 meter bisa saja terisi lagi dengan minyak dari lapisan yang lebih dalam.
“Semburan lumpur ini bisa timbul lagi, diantaranya bisa jadi karena akibat kegempaan tektonik salah satunya gempa 6 SR di Tuban kemarin. Pernyataan terbaiknya, adalah mempelajari lagi lebih dalam dan kita harus memanfaatkan potensi hidrokarbon yang terjadi,” kata Sofyan Hadi ahli geologi yang juga pernah terlibat dalam kajian penanggulangan lumpur Sidoarjo. (dwi/rst)