Jumat, 3 Mei 2024

BNPT: Tujuh Anak Pelaku Bom Surabaya Sudah Mau Menerima Idiologi Pancasila

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Komjen (Pol) Suhardi Alius Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (21/11/2019). Foto: Faiz suarasurabaya.net

Komjen (Pol) Suhardi Alius Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjelaskan, terdapat tujuh orang anak yang merupakan anak-anak dari pelaku rangkaian aksi bom di Surabaya pada Mei 2018 lalu.

Menurut Suhardi, anak-anak tersebut dulunya sangat resisten ketika didekati dan tidak mau menyanyikan lagu Indonesia Raya dan menerima idiologi Pancasila.

“Anak-anak tersebut pada awalnya sangat resisten ketika didekati, menolak dengan keras untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dan menerima Idiologi Pancasila,” ujar Suhardi dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (21/11/2019).

Kata dia, anak-anak tersebut diketahui juga tidak mengenyam pendidikan formal, tapi hanya mengikuti pengajian dari orang tuanya, sehingga terdapat anak- anak tidak mampu membaca dan menulis.

Suhardi menjelaskan, usia anak tersebut saat masuk balai rehabilitasi berkisar 6 (enam) hingga 14 tahun pada Juni 2018. Setelah beberapa bulan, terjadi perubahan signifikan dimana anak tersebut sudah menyanyikan lagu Indonesia Raya dan menerima Idiologi Pancasila serta mau bergaul dengan anak lain yang berbeda agama di balai rehabilitasi.

Dia mengaku memang sempat mengalami kesulitan ketika akan melakukan re-integrasi karena Pemkot Surabaya khawatir terhadap anak-anak pelaku terorisme tersebut. Kekhawatiran tersebut karena anak-anak pelaku terorisme bisa mempengaruhi anak-anak lainnya.

“Kesulitan terjadi ketika akan melakukan re-integrasi, karena Pemkot Surabaya belum percaya untuk menerima anak-anak tersebut dan khawatir mereka masih memiliki paham radikal terorisme dan menyebarkan paham tersebut ke anak-anak lainnya,” tegasnya.

Namun demikian, kata Suhardi, sejak akhir Oktober 2019 telah dilakukan re-integrasi terhadap anak tersebut dengan memasukkan ke pondok pesantren di Salatiga Jawa Tengah oleh balai rehabilitasi kementerian sosial.

Terkait dengan pencegahan yang bisa diupayakan untuk anak tersebut agar tidak lagi memiliki paham radikal, menurut dia, adalah dengan langkah monitoring secara berkala oleh Tim Sub Direktorat Bina Masyarakat BNPT sebagai bagian sebagai tupoksi Subdit.

“Lebih lanjut apabila diperlukan, dapat dilakukan perencanaan program pembinaan khusus anak tersebut di kemudian hari,” pungkas Suhardi.(faz/dwi)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Surabaya
Jumat, 3 Mei 2024
33o
Kurs