Rencana pemerintah untuk menyiapkan sanksi bagi para penunggak iuran BPJS kesehatan dikatakan Arief Supriyono Ketua BPJS Watch Jatim sebenarnya sudah ada sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Sanksi, itu sesuai PP (Peraturan Pemerintah) 86 tahun 2013. Jadi di PP 86 itu sebelum era Jokowi. Karena kan 2013. Jadi PP ini dimunculkan supaya masyarakat peserta JKN ini menjadi complaisant dengan aturan yang ada,” kata Arief.
Dalam PP tersebut, beberapa sanksi diatur. Seperti tidak bisa mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB), surat izin mengemudi (SIM), sertifikat tanah, paspor, dan surat tanda nomor kendaraan (STNK).
Ia mengatakan, masalah muncul karena masyarakat menganggap pemerintah membuat aturan semena-mena. Terutama, ketika dikaitkan dengan politik, ia menilai ada kesan bahwa pemerintah saat ini tidak peduli dengan kesehatan masyarakat.
Ia juga menegaskan, soal pendapat banyak pihak yang meminta BPJS memperbaiki layanan kesehatan terlebih dahulu sebelum memberlakukan sanksi dan kenaikan iuran, Arief mengatakan ranah perbaikan layanan kesehatan ada di tangan Kementerian Kesehatan.
“Yang harus dikritik ini Kementerian Kesehatan. Ranah layanan itu rumah sakit bukan BPJS. BPJS hanya operator dan buyer. Mangkahya Kementerian Kesehatan harus mengawal Permenkes (Permenkes nomor 99/2015 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN) sampai kebawah. Masalah akreditasi sudah diatur di Permenkes 99, itu harus dikawal. Jika ada RS tidak punya akreditasi, harus ditindak hingga pencabutan ijin,” jelasnya.
Sebelumnya, Fachmi Idris Direktur Utama BPJS Kesehatan di Jakarta mengatakan, saat ini pemerintah tengah menyiapkan aturan dalam bentuk Inpres agar sanksi bisa berlaku otomatis. Nantinya data BPJS Kesehatan akan secara daring tersambung dengan basis data yang dimiliki kepolisian, Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil, Badan Pertanahah Negara, dan lain-lain. (bas/tin/ipg)