Rabu, 17 April 2024

Balita dengan Asupan Makan Tidak Seimbang, Lebih Rentan Saat Pandemi

Laporan oleh J. Totok Sumarno
Bagikan
Nutrition Officer UNICEF Field Office Java, dr. Karina Widowati, M.P.H menjelaskan tentang kebutuhan gizi anak selama pandemi. Foto Humas Unicef

Saat pandemi Covid-19 ini, bisa jadi banyak orang tua punya pilihan terbatas soal kebutuhan asupan gizi bagi balitanya karena kehilangan mata pencaharian. Akibatnya, asupan gizi yang masuk pada anak-anak menjadi tidak seimbang dan anak-anak rentan terhadap penyakit. Balita dengan gizi baik, ditegaskan akan lebih tahan terhadap efek negatif perubahan iklim dan pandemi seperti Covid-19.

dr. Karina Widowati, M.P.H., Nutrition Officer UNICEF Field Office Java, menyampaikan karena kehilangan mata pencaharian dan pendapatan tersebut, maka banyak orang tua yang sulit untuk memenuhi keberagaman minimal (hewani, nabati, biji-bijian atau umbi) makanan untuk anak-anak mereka.

“Dalam kondisi normal saja atau bukan saat pandemi, keberagaman minimal makanan yang bisa dipenuhi untuk anak-anak masih tidak sampai 50 persen. Bahkan tidak sampai 40 persen seingat saya. Kondisi pandemi seperti saat ini, perkiraan saya akan malah memperparah. Ini perkiraan saya saja ya, karena untuk yang balita memang belum ada survei penelitiannya. Kalau yang untuk remaja sudah ada,” terang Karina Widowati saat mengisi materi Makanan Sehat dan Bergizi untuk Balita di Masa Pandemi, pada acara Geliat Airlangga Webinar Series, Rabu (7/10/20).

Karina menambahkan, untuk yang usia remaja sudah ada penelitiannya. Dan hasilnya, memang ada perubahan preferensi makanan yang diasup. Saat pandemi ini remaja di Indonesia memang lebih banyak mengonsumsi makanan di rumah, namun makanan yang dikonsumsi lebih banyak berupa process food (sarden dan makanan kaleng), padahal seharusnya memperbanyak fresh food.

“Kalau yang remaja kan sudah bisa memilih sendiri, tetapi kalau yang balita ini jika berpedoman pada food security, akan mengikuti pilihan orang tuanya. Pilihan orang tua itu berkorelasi pada kemampuan daya beli. Karena tidak punya cukup uang, maka kemampuan daya beli berkurang saat pandemi ini, sehingga kemungkinan akan semakin besar pula prosentase berkurangnya keberagaman asupan makan anak-anak balita ini,” kata Karina Widowati.

Data UNICEF tahun 2017, secara global hanya 1 dari 3 anak usia 6 sampai 23 bulan yang mengkonsumsi makanan yang memenuhi kriteria minimum untuk keberagamana makanan yang dikonsumsi, untuk tumbuh dan berkembang optimal. Untuk bayi usia 6-11 bulan, hanya terdapat 18 persen saja yang mengkonsumsi daging dan 11 persen mengkonsumsi telur.

Sementara di Indonesia menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017, dari 23,8 juta balita lebih dari 40 persen diantaranya diperkenalkan dengan makanan pendamping ASI sebelum usia 6 bulan.

“Ini berbahaya. Ini meningkatkan resiko alergi pada bayi tersebut. Ususnya belum siap. Sel-sel akan bereaksi ketika diberi asupan makanan selain ASI, karena menganggap itu benda asing. Sistim pencernaan pada bayi kurang dari 6 bulan sangat sensitif. Jika makanan padat diberikan sebelum 6 bulan, maka bayi akan terserang obesitas lebih tinggi di masa dewasa,” jelas Karina.

Masih dari sumber yang sama, tercatat sebanyak 40 persen anak usia 6-24 bulan mempunyai pola makan dengan keberagaman makanan yang rendah dan 28 persen tidak diberikan makanan dengan frekuensi dianjurkan.

“Bahkan balita-balita dari keluarga kuintil atas, seringkali juga tidak mendapatkan variasi minimal makanan yang dianjurkan. Rendahnya kualitas pola makan pada balita di Indonesia ini merupakan ancaman besar bagi kemampuan anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang secara optimal,” tambah Karina.

Penanggulangan malnutrisi pada balita (anak dan remaja) melalui investasi pada pola makan sehat (keberagaman, porsi dan kualitas makanan), menurut Karina adalah kunci bagi pencapaian tumbuh kembang anak-anak secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya, serta akan mengurangi bencana terjadinya penyakit degeneratif di masa depan.

Selain keberagaman asupan makanan, hal lain pada anak balita yang harus diperhatikan saat pandemi adalah pemenuhan kebutuhan olahraga dan kesehatan mental anak sejak dini.

Ditambahkan Afif Kurniawan, M.Psi, Psikolog, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya bahwa kebugaran jasmani dan kesejahteraan psikologis anak usia dini di masa pandemi harus diperhatikan dan dijaga.

“Sama seperti orang dewasa, anak-anak juga stress di masa pandemi ini. Aksi reaksi anak muncul karena pembatasan-pembatasan di masa pandemi. Harus ada strategi aplikasi gerak anak di masa pandemi yang harus dipahami orang tua,” terang Afif Kurniawan.

Menurut Afif, sekitar 55,5 persen aktivitas fisik itu justru mendukung prestasi akademik, sementara dirinya khawatir anak-anak saat pandemi terbatas dalam aktivitas gerak. Padahal anak-anak untuk mengembangkan ketrampilan itu dengan cara bergerak dan bermain bersama teman-temannya.

Pandemi ini kata Afif, menuntut orang tua harus terlibat lebih banyak terhadap tumbuh kembang anak. Orang tua harus mengenal betul perkembangan gerak. Orang tua harus memberikan kesempatan anak-anak untuk melakukan aktivitas gerak fisik, karena saat ini gerak mereka bersama teman-teman sebaya sangat dibatasi.

Harus ada rencana aktivitas gerak untuk anak-anak yang dibuat oleh orang tua bersama dan harus selaras dengan anak-anak. Caranya, dengan memanfaatkan benda-benda yang dimiliki anak dan kegiatan itu harus memiliki tujuan. Aktivitas anak saat ini akan sangat berpengaruh pada tumbuh kembang mereka saat dewasa nanti.

“Kenapa gerak? Karena ini ada kaitan dengan prestasi akademik, perkembangan otak, aktivitas fisik dan kesehatan, kesejahteraan psikologis (bahagia, percaya diri, kemandirian),” papar Afif.(tok/lim)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Rabu, 17 April 2024
27o
Kurs