Jumat, 29 Maret 2024

Ini Penjelasan Ahli Patologi Klinik tentang Surat Tanggapan Efektivitas Rapid Test di Medsos

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Ilustrasi. Layanan pemeriksaan kesehatan yang ada di Bandara Juanda Surabaya. Foto: Istimewa

Perhimpunan Dokter Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS Patklin), melalui Surat Tanggapan nomor 166/PP-PATKLIN/VII/2020 tertanggal 6 Juli 2020 menyampaikan saran dan masukan kepada pemerintah atas Surat Edaran Gugus Tugas Covid-19 Nomor 9/2020 tentang Kriteria dan Persyaratan Perjalanan Orang.

Surat Tanggapan PDS PatKlin itu, kata Dr dr Aryati Ketua Umum PDS PatKlin sebenarnya hanya ditujukan kepada Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Pusat bukan untuk disebarluaskan ke publik. Dia sendiri tidak menduga, surat itu ternyata beredar luas di media sosial.

“Itu di luar dugaan, ternyata sampai menyebar di medsos. Saya sendiri juga kaget. Sampai sore ini banyak sekali pertanyaan yang saya terima dan saya banyak dihujat,” katanya dikonfirmasi suarasurabaya.net via telepon, Senin (13/7/2020) sore.

Surat tanggapan atas SE Gugus Tugas Covid-19 tertanggal 26 Juni 2020 itu, kata dia, sebenarnya berangkat dari pengamatan dan hasil penelitan dokter patologi klinis di PDS PatKlin yang menilai bahwa kebijakan itu kurang efektif dan cenderung berdampak bahaya dan merugikan.

Pada poin pertama surat tanggapan yang ditandatangani dr Aryati tertanggal 6 Juli 2020 lalu itu dengan cukup jelas menyarankan agar pemerintah tidak menerapkan syarat hasil negatif Rapid Test Antibodi dan swab PCR sebagai syarat perjalanan orang.

Alasannya, berdasarkan survei dan penelitian yang dilakukan PDS PatKlin, pemeriksaan tes swab PCR memiliki sensitivitas 60-80 persen sehingga masih bisa terjadi hasil negatif palsu. Aryati menekankan, waktu yang dibutuhkan sejak pengambilan swab pun bervariasi antara 2 hari sampai 3 minggu.

“Artinya begini, kalau hasil PCR test itu baru keluar katakanlah sampai dua minggu, kan ada kemungkinan orang yang tadinya memang positif kadar virus di tubuhnya sudah tidak ada. Atau sebaliknya, yang hasilnya negatif setelah dua minggu ternyata terpapar,” katanya.

Kalau kemungkinan kedua yang terjadi, dinyatakan negatif hasil tes ternyata yang bersangkutan sebenarnya terjangkit virus, ini akan membahayakan penumpang transportasi umum lainnya ketika orang itu akhirnya diizinkan untuk melakukan perjalanan.

Sebaliknya, bila kemungkinan pertama yang terjadi, dinyatakan positif padahal sudah negatif, orang bersangkutan mengalami kerugian karena harus menunda perjalanan padahal sebenarnya pada saat itu virus di dalam tubuhnya sudah tidak ada dan dia sudah aman untuk melakukan perjalanan.

Kemudian pada sub poin b surat tanggapan itu, yakni tentang sensitivitas dan spesifitas Rapid Test Antibodi, para dokter patologi klinis di PDS PatKlin sudah sejak beberapa waktu lalu telah melakukan penelitian terhadap berbagai merek Rapid Test yang ada di Indonesia.

“Gugus Tugas Covid-19 itu merekomendasi sekitar 175 merek rapid test yang boleh masuk ke Indonesia. Kami melakukan post market survey ke berbagai daerah. Ada 63 merek yang kami temukan kemudian kami teliti sensitivitas dan spesifitasnya. Hasilnya, rata-rata memang rendah,” katanya.

Artinya, penerapan rapid test antibodi sebagai syarat perjalanan orang menurut Aryati kurang tepat. Selain berbahaya karena lebih banyak kemungkinan terjadi hasil nonreaktif palsu, itu juga merugikan orang yang dinyatakan reaktif sehingga tidak bisa melakukan perjalanan.

Aryati pun mengakui, akurasi tes deteksi Covid-19 dengan metode swab real-time PCR memang jauh lebih tinggi karena rapid test hanyalah alat screeing yang menurutnya selama ini penggunaannya juga tidak sesuai ketentuan yang diatur dalam pedoman Kementerian Kesehatan.

“Di buku pedoman Kemenkes untuk Penanganan Covid-19 tanggal 27 Maret, sekarang sepertinya sedang disiapkan lagi yang terbaru, di halaman 29 itu disebutkan. Kalau rapid test hasilnya non reaktif, seharusnya yang bersangkutan dites lagi 10 hari setelahnya,” katanya.

Tes ulang dalam waktu maksimal 10 hari itulah yang menurut Aryati, selama ini tidak dilakukan. Terutama dalam berbagai kegiatan Rapid Test Massal yang digelar pemerintah maupun oleh swasta di berbagai daerah di Indonesia. Hal seperti ini juga berbahaya.

“Coba, Anda misalnya kalau ikut rapid test massal, lalu hasilnya non reaktif, senang tidak? Pasti senang. Padahal, hasil itu perlu dipastikan lagi 10 hari kemudian. Ini enggak, setelah non reaktif, sudah keluyuran ke mana-mana, kumpul sana-sini. Bahaya sekali itu,” katanya.

Sebab itulah dia juga tidak sepakat dengan penerapan syarat hasil negatif Rapid Test bagi peserta Ujian Tulis Berbasis Komputer untuk seleksi masuk perguruan tinggi negeri yang dilakukan sejumlah Pemerintah Daerah beberapa waktu lalu, seperti yang diinisasi Pemkot Surabaya.

“Kasihan, lho, mereka itu. Mereka mau cari perguruan tinggi, kalau reaktif batal ikut tes. Belum lagi, stigma di masyarakat itu, baru reaktif, belum tentu positif Covid-19, itu sudah diusir-usir, dikucilkan. Kami prihatin juga dengan ini. Seharusnya ada sosialisasi yang lebih massif soal ini,” ujarnya.(den/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil Porsche Seruduk Livina di Tol Porong

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Jumat, 29 Maret 2024
32o
Kurs