Kamis, 28 Maret 2024

Ingatkan Marwah Manusia, Sejumlah Seniman Aksi Teatrikal Nguda Rasa di Depan Grahadi

Laporan oleh J. Totok Sumarno
Bagikan
Aksi teatrikal Nguda rasa dimainkan di depan Grahadi. Ingatkan marwah manusia. Foto: totok suarasurabaya.net

Puluhan orang dengan membawa sapu lidi, bergerak dari Taman Apsari di sekitar patung Joko Dolog, Jumat (3/9/2021), menuju Jalan Gubernur Suryo.

Persis di depan Grahadi mereka menyeberang lalu mulai memainkan aksi teatrikal Nuda Rasa. Lalu lalang kendaraan menjadi bagian dari aksi teatrikal mereka, siang itu.

“Mereka ini para seniman tradisional. Berasal dari banyak kelompok. Latihan sudah mereka lakukan dan hari ini adalah saatnya untuk memainkan lakon Nguda Rasa,” terang Slamet Gaprax inisiator aksi teatrikal Nguda Rasa, Jumat (3/9/2021).

Dalam bahasa Jawa makna Nguda Rasa adalah menelanjangi rasa, menelanjangi perasaan. Dalam konteks kegiatan teatrikal ini, Nguda Rasa adalah ungkapan perasaan seseorang melihat kekinian kondisi negeri ini. Atau di lingkup kecil, kondisi keseharian mereka.

Dua laki-laki pemain teater bertubuh gempal yang sejak dari lokasi Taman Apsari di lokasi patung Joko Dolog sudah tidak berbaju, terus melakukan gerakan-gerakan tubuh.

Sesekali mereka memukulkan sapu lidi yang mereka bawa ke bagian tubuh masing-masing. Sesekali juga mereka melenguh atau berteriak mengucapkan sesuatu yang tidak jelas terdengar.

Beberapa pemain lainnya yang sebelumnya membawa sapu lidi sudah menempatkan sapu lidi berderet seperti pembatas diatas trotoar tempat para pemain meluapkan ekspresinya.

Para perempuan di antaranya memakai pakaian layaknya para perempuan desa dengan kain dan baju sederhana. Di antaranya menyapu trotoar depan Grahadi dengan sapu lidi yang mereka bawa.

Seorang bocah memakai pakaian tradisional lengkap dengan blangkon dan kain dililitkan pada tubuhnya membawa bendera Merah Putih. Sesekali melintas di antara para orang dewasa yang sedang bergerak dan memainkan peran masing-masing.

Satu pemain lainnya membawa nampan bambu penuh bunga yang kemudian disebarkan dalam perjalanan menuju titik terakhir aksi teatrikal.

“Menjadi sia-sia keberadaan manusia jika sudah kehilangan marwahnya sebagai manusia. Mereka tidak lagi memiliki kedaulatan. Mereka tidak berdaulat. Sebagai rakyat, mereka kemudian mendapat stigma baru sebagi gerombolan orang melarat yang selalu menghibah-hibah untuk dapat beras miskin, uang receh santunan negara, yang sudah disunat berkali-kali,” papar Slamet Gaprax.

Pada situasi dan kondisi seperti ini, lanjut Slamet agama diobral menjadi dagangan politisi, pendidikan menjadi sangat komersial, ekonomi tumbuh secara kapitalsitik, dan itu semua menjadikan masyarakat dan rakyatnya tak ubahnya seperti pelacur yang kemudian mejajakan tubuhnya. “Karena tidak ada lagi selain tubuhnya yang bisa dijual,” kata Slamet.

Kondisi itu, menurutnya, menjadikan seseorang hanya bisa Nguda Rasa. Bagian dari ungkapan kekalahan, kepasrahan, dan menggantungkan asa pada setitik harapan yang mungkin muncul.

“Aksi teatrikal Nguda rasa ini bagian dari kondisi kekinian, di tengah masa pandemi yang masih belum rampung sampai sekarang. Kami ingin ingatkan semua orang, rakyat dan masyarakat, agar tidak kehilangan marwahnya sebagai manusia,” kata Slamet.

Sementara itu, para pemain, setelah memainkan lakon di depan Grahadi, bergerak berjalan menuju Alun-alun Surabaya yang tidak jauh dari kompleks Balai Pemuda untuk melanjutkan bagian akhir aksi teatrikal Nguda Rasa.

Puluhan Polisi berpakaian dinas maupun tidak berpakaian dinas memantau aksi damai yang dilakukan dan ditampilkan oleh sejumlah seniman Surabaya itu.(tok/den)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil Porsche Seruduk Livina di Tol Porong

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Kamis, 28 Maret 2024
31o
Kurs