Senin, 2 Desember 2024

Selegenje Data Vaksin Covid-19

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Ilustrasi. Seorang tenaga medis bersiap menyuntikkan vaksin Covid-19. Foto: dok. suarasurabaya.net

Kementerian Kesehatan (Kemkes) membuka akses bagi publik untuk mengetahui persediaan vaksin di setiap daerah. Tapi ada yang ganjil. Data ini tidak sama dengan data di daerah. Melalui situs itu masyarakat bisa tahu, berapa sebenarnya dosis vaksin yang diterima suatu daerah, berapa yang sudah terpakai, dan berapa yang tersisa? Juga perkiraan vaksin akan habis.

Saat pertama kali Kemkes mengumumkan tentang situs itu dalam konferensi pers yang digelar Kamis (19/8/2021) lalu, suarasurabaya.net mencoba menengok persediaan vaksin di kabupaten/kota di Jawa Timur. Terutama stok vaksin, karena asumsinya, jumlah persediaan ini akan menunjukkan tingkat kepatuhan pemkab/pemkot kepada presiden yang meminta mereka segera menghabiskan stok vaksin yang masih ada.

Kabupaten Sidoarjo menjadi daerah dengan sisa dosis vaksin terbanyak dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Jawa Timur di dalam situs itu. Pada 19 Agustus lalu stok vaksin di Sidoarjo tercatat sebanyak 173.340 dosis. Sedangkan total dosis vaksin yang diterima Pemkab Sidoarjo sebanyak 804.520 dosis, dan total dosis vaksin yang sudah disuntikkan sebanyak 631.180 dosis. Tapi ternyata, data itu berbeda dengan yang dicatat Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo.

Dinkes Sidoarjo mencatat, jumlah persediaan vaksin pada 19 Agustus lalu bahkan tidak sampai lebih dari 100 ribu. Dokter Gigi Syaf Satriawarman Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo yang menyatakan itu kepada suarasurabaya.net, di hari yang sama setelah Kemkes mengumumkan situs itu.

Wong yang dikeluarkan dari Provinsi tiga hari lalu (16 Agustus) saja kita nol, kok. Baru dapat lagi kiriman 20 ribu. Sudah kami jadwalkan untuk program vaksinsi Senin (24/8/2021) dan Selasa (25/8/2021) besok 10 ribu (dosis). Terus, kami bagikan ke puskesmas 10 ribu dosis. Sudah, habis lagi,” ujarnya.

Di luar 20 ribu dosis vaksin yang tersedia dan sudah teralokasikan itu, Pemkab Sidoarjo pada Kamis itu baru saja menerima kurang lebih 4 ribu dosis vaksin Moderna yang akan dimanfaatkan sebagai booster bagi tenaga kesehatan. Sehingga total stok vaksin yang ada hanya sekitar 24.000 dosis vaksin Covid-19.

Tidak hanya data total persediaan vaksin yang berbeda. Catatan Dinkes Sidoarjo soal total dosis vaksin yang sudah disuntikkan pada hari itu juga berbeda. Berdasarkan data yang dihimpun Dinkes Sidoarjo, total dosis yang sudah disuntikkan sudah mencapai 858.343 dosis. Sedangkan data Kemkes saat itu, vaksin yang sudah disuntikkan di Sidoarjo hanya 631.180 dosis.

Dokter Syaf Kepala Dinkes Kabupaten Sidoarjo itu menduga, ada kesalahan pencatatan data vaksin di Kemkes. Atau, kemungkinan lain yang terjadi, data vaksin yang sudah diinput Pemkab Sidoarjo ke Aplikasi P-Care milik BPJS Kesehatan, belum diterima lengkap oleh Kemkes.

Sampai hari ini, Minggu (22/8/2021), jumlah persediaan vaksin Kabupaten Sidoarjo masih menjadi yang tertinggi di Jatim di dalam situs Kemkes tersebut. Yakni sebanyak 162.890 dosis dari total dosis diterima yang tetap sama dengan 19 Agustus lalu, yakni 804.520 dosis, dan dosis yang disuntikkan sebanyak 641.630 dosis.

Pendapat Pakar Epidemiologi

Dokter Windhu Purnomo Pakar Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga mengatakan, masalahnya ada pada definisi pelaporan vaksinasi yang diterapkan oleh Kementerian Kesehatan.

“Jadi, itu kan, memang sejak vaksinasi ini di-geropyok (dilakukan secara gencar) oleh beberapa pihak itu, kan, mulai agak selegenje (tidak sinkron/tidak sesuai, red) dalam hal pelaporan. Itu harus dibetulkan. Saya selalu mengatakan, kalau bisa definisi operasionalnya itu yang harus dibuat jelas,” ujarnya kepada suarasurabaya.net.

Selama ini, definisi operasional pelaporan vaksinasi, menurut Windhu, dicatat berdasarkan di mana vaksinasi itu dilakukan. Padahal, bisa saja yang mengikuti vaksin di suatu daerah bukanlah orang yang tinggal atau berdomisili di daerah tersebut.

Seperti diketahui, belakangan ini banyak sentra vaksin yang digelar bukan hanya oleh Dinas Kesehatan di masing-masing kabupaten/kota. Misalnya, program serbuan vaksinasi yang digelar oleh TNI (baik TNI AD, TNI AL, maupun TNI AU), juga oleh Polri (baik oleh Polda Jatim maupun Polres dan Polrestabes), juga yang digelar oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Di Jawa Timur, kata Windhu, kegiatan vaksinasi massal yang digelar pihak selain Dinkes itu banyak dilakukan di Surabaya. Dia mencontohkan kegiatan vaksinasi yang dilakukan BUMN di Grand City Surabaya beberapa waktu yang lalu.

“Itu sampai ada yang datang dengan bus khusus, rombongan begitu. Mereka ini bukan orang yang berdomisili di Surabaya, lho. Tapi dicatat sebagai coverage (cakupan) warga Surabaya.
Juga misalnya, yang dilaksanakan oleh TNI di Banyuwangi. Itu untuk warga Banyuwangi, tapi dicatatkan sebagai coverage Surabaya,” katanya.

Karena itulah, capaian vaksinasi di Surabaya begitu besar untuk beberapa sasaran vaksinasi. Dia mencontohkan, untuk sasaran petugas publik di Surabaya, berdasarkan data yang dia punya sampai 16 Agustus lalu, persentase capaian vaksin dosis pertama hingga 683 persen. Sedangkan untuk dosis kedua mencapai 517 persen.

“Bayangkan. Harusnya, kan, capaian maksimal itu hanya 100 persen. Ini bisa mencapai 683 persen. Ini seperti yang terjadi juga di Kota Mojokerto dan Kota Kediri. Artinya, banyak petugas publik yang tidak tinggal dan ber-KTP Surabaya tapi vaksinasinya dicatat di Surabaya,” kata Dokter Windhu.

Model pencatatan seperti ini, kata dia, justru memunculkan asumsi, jangan-jangan ada daerah yang sebagian besar masyarakatnya sebetulnya sudah divaksin tapi yang terlaporkan sedikit. Tidak hanya mempengaruhi total jumlah capaian vaksinasi suatu daerah, data yang menurutnya kurang pas itu juga akan mempengaruhi kebijakan pendistribusian vaksin untuk semua daerah oleh Kementerian Kesehatan.

“Jadi ini soal pelaporan. Definisi pelaporannya harus diperbaiki. Seharusnya pencatatan itu sesuai domisili orang yang divaksin. Misalnya, orang yang domisilinya di Surabaya kebetulan dapat vaksin saat bertugas atau bekerja di Jakarta, ya, tetap dicatat untuk coverage Surabaya. Begitu sebaliknya. Dengan begitu data yang nyata tentang capaian dan distribusi ini bisa terlihat dengan baik,” katanya.

Pihak yang bertanggung jawab untuk membenahi dasar pelaporan ini adalah Kementerian Kesehatan dan juga BPJS Kesehatan sebagai pemilik aplikasi Primary Care (P-Care). Kemkes melalui surat Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit nomor SR.02.06/I/193/2021, tertanggal 20 Januari lalu, menetapkan P-Care sebagai aplikasi input data hasil vaksinasi oleh Kepala Dinkes di masing-masing daerah.

“Saya kira P-Care bisa lah memilah pelaporan ini berdasarkan domisili. Kan, seharusnya gampang saja, di dalam aplikasi itu semestinya sudah tercantum di mana sasaran vaksin itu berdomisili. Tinggal menyesuaikan saja,” katanya.

Windhu bilang, dirinya sebagai salah satu epidemiolog yang sering dimintai pendapat soal vaksinasi akan merekomendasikan pembenahan sistem pelaporan ini kepada pemerintah. Sebagaimana sebelumnya dia merekomendasikan agar pemerintah sudah tidak perlu lagi memikirkan soal herd immunity (kekebalan kelompok).

“Sekitar sebulan lalu saya sampaikan, vaksinasi ini sudah tidak usah lagi memikirkan herd immunity. Karena dengan adanya virus Varian Delta ini, kita tidak akan pernah bisa mencapai herd immunity. Pak Menko Marves sudah paham. Ada itung-itungan-nya. Jadi yang penting sekarang kejar cakupan vaksinasi setinggi mungkin, kalau bisa mendekati 100 persen populasi,” ujarnya.

Windhu percaya, soal perbaikan data vaksinasi ini, pemerintah akan mempertimbangkan apa yang dia rekomendasikan. Karena menurutnya, belakangan ini arah kebijakan pemerintah sudah mulai benar. Sudah mau mendengar pakar epidemiologi, menurutnya, menjadi salah satu bukti bahwa pemerintah sudah mulai melakukan penanganan dengan benar.

Termasuk dengan terbuka menyediakan akses bagi masyarakat dalam hal data persediaan vaksin di masing-masing daerah.(den)

Berita Terkait

Surabaya
Senin, 2 Desember 2024
26o
Kurs