Jumat, 10 Mei 2024

Dokter UGM Dorong Dua Hal Ini Soal Pendistribusian Dokter Spesialis di Indonesia

Laporan oleh Dhafintya Noorca
Bagikan
Ilustrasi. Foto: Pexels

Jagaddhito Probokusumo dokter spesialis jantung dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM) mengatakan pendistribusian dokter spesialis di Indonesia menjadi PR yang lebih penting, di samping memperbanyak produksi dokter.

Hal ini bercermin pada penumpukan dokter di kota-kota besar yang tidak merata di Indonesia.

“Padahal di Indonesia kan negara kepulauan ya, jadi geografisnya juga luas. Ini menjadi tantangan tersendiri untuk Indonesia,” tuturnya saat mengudara di Radio Suara Surabaya, Selasa (6/12/2022).

Dhito, panggilan akrabnya, mengatakan ada dua hal yang menurutnya wajib menjadi sorotan oleh Menteri Kesehatan (Menkes), yakni yang pertama terkait biaya pendidikan kedokteran spesialis yang bersifat inklusif dan dapat dinikmati semua golongan masyarakat.

“Karena sampai sejauh ini, kami masih membayar. Kita membayar SPP,” katanya.

Dhito memaparkan bahwa dari total 13 ribu dokter residen di Indonesia, sebanyak 10 persen mendapatkan beasiswa.

“Beasiswa didapat dari Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat atau LPDP, sedangkan sisanya dari orang tua masing-masing,” paparnya.

Kemudian yang kedua, dokter spesialis jantung itu juga menyebutkan terkait dengan pemenuhan hak residen seperti yang sudah diatur dalam Undang-Undang Pendidikan Kedokteran tahun 2013.

“Jadi hak residen berhak mendapatkan intensif, bantuan hukum, dan waktu istirahat. Namun sampai saat ini, implementasi terkait dengan pelaksanaan undang-undang itu, kita lihat masih belum ada. Jadi itu yang kita dorong kepada Pak Menteri,” sebutnya.

Selain itu, menurut Dhito, salah satu permasalahan sistem pendistribusian pemerataan dokter spesialis di Indonesia yakni lemahnya pendataan. Data yang dimaksud adalah daerah yang masih membutuhkan dokter spesialis yang disesuaikan dengan jenis, insidensi, dan prevalensi penyakitnya dengan daerah.

“Jadi misalnya di daerah A, itu ternyata dia yang paling tinggi kasusnya jantung. Nah, itu berarti kita perlu spesialis jantung di daerah A. Tidak mungkin kalau daerah tersebut butuhnya spesialis jantung, ternyata yang dikirim malah spesialis obgyn, gitu misalnya. Itu juga disesuaikan dulu,” ujarnya.

Dokter spesialis dari UGM ini menambahkan, distribusi pemerataan dokter spesialis saat ini berbeda dengan distribusi pemerataan dokter spesialis pada zaman orde baru.

“Kalau yang saya dengar dari guru saya, dulu waktu zaman orde baru tidak pernah ada kesulitan terkait distribusi. Karena dulu ada yang namanya dokter PPPK, dokter Inpres, sehingga tenaga-tenaga dokter itu bisa terpenuhi di daerah-daerah,” imbuhnya.

Terkait hal itu, Dhito mengatakan perlunya kerja sama antarinstansi seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Pendidikan.

Dhito juga berharap terkait pemenuhan dokter spesialis ke depannya, mutu para dokter spesialis dijaga tidak hanya dari segi keilmuan, melainkan juga dari segi karakter dan itu membutuhkan waktu untuk mempersiapkannya.

“Jadi kita tidak hanya bicara masalah kuantitas, tapi juga memperhitungkan kualitas. Karena bagaimana pun juga, kita ingin menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa masyarakat Indonesia yang mau kita tolong,” pungkasnya.(rum/dfn/ipg)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Surabaya
Jumat, 10 Mei 2024
28o
Kurs