Jumat, 19 April 2024

Tren Remaja yang Memilih Minggat, Pendapat Psikologi dan Bagaimana Orangtua Menyikapinya

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Ilustrasi.

Beberapa waktu terakhir, Radio Suara Surabaya banyak menerima laporan anak yang kabur dari rumah atau kita sering menyebutnya minggat. Banyak pendengar yang melaporkan putra maupun putrinya kabur karena memiliki masalah, baik masalah keluarga, masalah pertemanan maupun lainnya.

Beberapa Laporan SS Mengenai Remaja Kabur

Berdasarkan data yang dihimpun redaksi suarasurabaya.net selama 19 hari terakhir mulai awal tahun 2022 yang masuk ke meja redaksi melalui radio maupun whatsapp Suara Surabaya, tercatat ada 14 laporan remaja pergi meninggalkan rumah.

Berikut beberapa di antaranya.

“Saya kehilangan kakak. Sekitar jam 05.30 WIB pergi dari rumah jalan kaki nggak bawa hp. Pagi tadi habis ada masalah dengan keluarga,” kata MA, pendengar pada Selasa (4/1/2022) lalu.

“Saya kehilangan anak, usia 11 tahun. Keluar dari rumah jam 7 malam dari kosan. Bawa tas ransel isi baju, sudah persiapan untuk pergi sepertinya. Tidak bawa HP. Dia dibawa sama orang, yang bawa laki-laki dan perempuan naik motor di sekitar Pasar Benowo,” lapor MR, pendengar pada Kamis (6/1/2022) lalu.

Di hari yang sama, seorang pendengar FR, melaporkan anaknya yang berusia 18 tahun kabur dari rumah sudah 9 hari. Sang ibu mengaku, anaknya bersifat tertutup dan pergi dari rumah tanpa pamit. Sehari setelah dilaporkan ke SS, FR akhirnya pulang ke rumah.

“Anak saya yang hilang sudah 9 hari yang lalu sudah pulang ke rumah. Barusan pulang tadi pagi. Ternyata anaknya berada di Darmo, pulang sendiri. Mungkin menginap di rumah temannya,” kata NF sang ibu.

“Hari Senin kemarin keponakan perempuan saya hilang. Memang habis dimarahi orang tuanya. Ini orangtuanya nggak gupuh karena biasa pergi itu,” kata Ati pendengar pada Kamis (13/1/2022) lalu.

Aksi Remaja Kabur Menurut Psikolog

Menurut Inne Moesyanto S.Psi Psikolog, aksi remaja yang memilih kabur dari rumah harus menjadi perhatian para orangtua. Ada beberapa poin yang menurut Inne harus menjadi sorotan dalam aksi kabur dari rumah oleh para remaja.

Pertama, usia remaja adalah usia pencarian jati diri yang perlu pendampingan. Sehingga, saat mereka mendapat masalah dan merasa tidak memiliki partner untuk mengkomunikasikan masalahnya, mereka merasa melarikan diri adalah pilihan tepat.

“Usia belasan tahun adalah saat-saat krusial membangun jati diri. Mereka memilih kabur mungkin merasa sudah besar, merasa bisa menghandle kehidupannya sendiri,” kata Inne kepada Radio Suara Surabaya, Rabu (19/1/2022).

Saat-saat inilah, keluarga khususnya orangtua harus hadir dan sering mengajak anak-anak mereka yang sedang tumbuh remaja untuk duduk bersama.

“Kalau sampai usia 7 tahun pertama, penting untuk mengajarkan kedisiplinan dan nilai-nilai kebaikan. Kalau remaja, ajak mereka duduk bersama, berpendapat, mendengar apa yang anak inginkan,” kata Inne.

Kedua, Inne menaruh perhatian terhadap remaja putri yang dalam beberapa kasus, lebih mendominasi dalam kasus ini. Menurutnya, hal itu bisa jadi perubahan hormonal pada remaja putri, membuat sisi perasaan mereka lebih sensitif.

“Remaja cewek itu lebih menggunakan perasaan dan banyak baper-nya dan itu bisa jadi karena perubahan hormonal, karena mereka lebih baper dari sisi psikologis,” jelas Inne.

Ketiga, atau faktor yang paling dominan mempengaruhi mengapa remaja lebih memilih kabur dari rumah adalah tidak adanya kenyamanan yang didapatkan dari keluarga.

Sehingga, anak-anak itu merasa tidak ada orang dalam keluarga yang bisa mendengarkan masalah yang sedang mereka hadapi.

“Sekitar 85 persen dihubungkan suasana nyaman dan bentuk komunikasi si anak dengan keluarga, orangtua dan saudara. Menciptakan rasa aman dan nyaman itu yang penting,” paparnya.

Saran untuk Orangtua, Kuncinya Adalah Komunikasi

Inne menekankan, pentingnya membangun komunikasi antara orangtua dan anak yang baik sejak dini. Karena masalah keluarga kebanyakan berasal dari pola komunikasi keluarga yang buruk.

“Caranya bagaimana pesan itu tersampaikan dengan cara baik dan jelas. Banyak sekali kasus karena pesan itu nggak sampai, nggak nyambung. Dari orangtua nggak sampai ke anak, keinginan anak nggak sampai ke orangtua,” ujarnya.

Di sisi lain, orangtua memang berhak untuk memberikan arahan ke anaknya, karena orangtua memiliki pengalaman lebih dalam kehidupan.

Namun Inne menekankan, jangan sampai itu menjadi ego yang membuat orangtua enggan untuk mendengarkan pendapat anak. Karena bagaimana pun, orangtua harus memahami bahwa perubahan zaman membuat pengalaman orangtua dan anak adalah sesuatu yang tidak dapat dibandingkan maupun disamakan.

“Pergeseran ini nampak sekali pengaruhnya. Dulu orangtua kalau sudah melotot, nada naik, sudah takut. Sekarang enggak, sudah nggak bisa kayak gitu. Pergeseran mereka (anak sekarang) itu di ranah-ranah yang perlu didengar pendapatnya,” ungkap Inne.

Dalam berkomunikasi dengan anak, orangtua lebih dulu memahami situasi dan konteks yang sedang dihadapi anaknya agar komunikasi berjalan baik. Tentu dengan cara menekan ego dan mau menjadi pendengar yang baik saat berkomunikasi dengan anak.

“Apa sih keinginannya, aktifitasnya apa saja. ‘Oh itu di zaman Mama nggak ada‘. Seharusnya kita tanya dulu, ada risikonya apa nggak kegiatan itu? Kalau nggak dilakukan bagaimana? Model-model komunikasi seperti itu agar kedua pihak dapat berpendapat,” paparnya.

Inne meminta orangtua untuk tidak terlalu khawatir dan canggung untuk mengajak anak duduk bersama. Ini karena sesungguhnya, usia remaja adalah masa di mana sang anak belajar untuk memilih keputusannya sendiri. Tentu dengan orangtua mengingatkan beberapa konsekuensi dan berbagai risiko yang akan dihadapi.

“Karena usia remaja sudah bisa diajak berdiskusi, konsekuensi-konsekuensinya, bahaya-bahayanya,” tutupnya.(tin/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Jumat, 19 April 2024
29o
Kurs