Senin, 29 April 2024

Cederai Keadilan, DPR Minta Vonis Ringan Polisi Pelaku Kekerasan Seksual Ditinjau Ulang

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Seorang perempuan memperlihatkan peraga kampanye Indonesia Bebas Kekerasan Seksual di posko layanan informasi Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (K16HAKTP) di Lhokseumawe, Provinsi Aceh. Foto: Antara

Didik Mukrianto anggota Komisi III DPR RI menilai putusan Pengadilan Negeri (PN) Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang memvonis oknum perwira polisi pelaku kekerasan seksual kepada anak hanya dengan hukuman dua bulan penjara telah mencederai keadilan.

Komisi yang membidangi urusan hukum itu pun mendorong agar dilakukan eksaminasi (pemeriksaan) terhadap hasil putusan tersebut.

“Saya bisa memaklumi kerisauan dan kekecewaan masyarakat akibat putusan PN Palangkaraya yang menjatuhkan hukuman 2 bulan penjara terhadap oknum polisi yang melakukan kekerasan seksual,” kata Didik, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (19/8/2023).

Sekadar diketahui, majelis hakim pada persidangan di PN Palangkaraya memutuskan Mahmud bin Hadi Mulyanto bersalah melakukan kekerasan seksual terhadap dua anak di bawah umur berinisial M dan D. Meski dinyatakan bersalah, oknum polisi berpangkat AKP itu hanya dijatuhi hukum dua bulan penjara dan denda Rp5 juta.

Putusan hakim tersebut menuai banyak kontroversi di tengah kegelisahan publik terhadap banyaknya kejahatan seksual yang terjadi. Apalagi, kata Didik, pelaku merupakan anggota polisi aktif yang seharusnya mengayomi masyarakat.

“Wajar putusan ini dianggap mencederai rasa keadilan publik, mengingat pelaku kekerasan adalah oknum penegak hukum dan korbannya anak di bawah umur yang di dalam UU TPKS menjadi pemberat hukuman bagi pelaku kekerasan seksual,” tuturnya.

Selain itu, dalam Pasal 15 Ayat (1) UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) disebutkan adanya tambahan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual dari beberapa profesi tertentu. Hukumannya bahkan ditambah 1/3 dari ancaman pidana.

Profesi yang dimaksud adalah tenaga kesehatan, tenaga medis, pendidik, tenaga kependidikan, atau tenaga profesional lain yang mendapatkan mandat untuk melakukan penanganan, pelindungan, dan pemulihan korban. Selain itu, aturan ini juga berlaku bagi keluarga hingga pejabat publik.

“Kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan,” tegas Didik.

Ditambahkannya, kekerasan seksual akan menimbulkan dampak luar biasa kepada korban yang meliputi penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik.

Didik menyatakan dampak luar biasa kepada korban yang meliputi penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik. Didik menyatakan, dampak kekerasan seksual juga sangat mempengaruhi kehidupan dan masa depan korban dan akan semakin menguat ketika korban merupakan bagian dari masyarakat yang termarginalkan.

“Baik secara ekonomi, sosial, dan politik, atau mereka yang memiliki kebutuhan khusus, seperti Anak dan Penyandang Disabilitas,” sebutnya.

Oleh karena itu, Didik menekankan agar setiap pelaku kekerasan seksual seyogyanya mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Sebab perbuatan pelaku bisa menimbulkan trauma dan penderitaan yang berkepanjangan terhadap korban.

“Kita tidak ingin masyarakat hilang kepercayaannya akan terwujudnya keadilan melalui putusan hakim. Jika masyarakat selama ini beranggapan bahwa hakim adalah wakil Tuhan di Dunia, bagaimana dengan anggapan masyarakat jika ada putusan hakim yang dirasakan tidak adil dan mencederai rasa keadilan publik? Lantas mewakili siapa keberadaan hakim di dunia?” paparnya.(faz/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Senin, 29 April 2024
30o
Kurs