Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan pemberian pendampingan kepada masyarakat adat, butuh bantuan dari lintas Kementerian/Lembaga, karena sifatnya yang beririsan dengan banyak bidang.
Hal tersebut diungkapkan Sjamsul Hadi, Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemendikbudristek saat berkunjung ke Kampung Raja Prailiu, Sumba Timur, NTT, Kamis (5/25/2023).
“Kolaborasi antar-kementerian melalui Tim Koordinasi, Advokasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, didasari dari SK Kemenko Nomor 35 Tahun 2022. Ini peran dan tugas kami yang fungsinya membantu persoalan yang ada di masyarakat, itu beririsan dengan banyak kementerian/lembaga,” kata Sjamsul Hadi dalam keterangannya yang dikutip Antara.
Dia menuturkan aktivitas masyarakat adat banyak bersinggungan dengan tugas serta fungsi dari banyak kementerian/lembaga. Dalam hal ini, Kemendikbudristek melalui Direktorat Kepercayaan Masyarakat Adat (KMA) bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Sosial (Kemensos), KLHK, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) hingga Kementerian Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPPA).
Kerja sama lintas sektor itu merupakan bentuk nyata dari menjalankan amanat UU Pemajuan Kebudayaan, yang sifatnya kekhususan dalam memberikan layanan pemenuhan hak.
Misalnya, bagi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan masyarakat adat, serta memberdayakan masyarakat adat dan penghayat kepercayaan terkait yang memiliki nilai-nilai kehidupan yang berasal dari Bangsa Indonesia asli.
Soal tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) yang bersinggungan, Sjamsul mencontohkan kerja sama dengan Kemendagri berkaitan pada pemenuhan hak-hak sipil dari masyarakat adat. Begitu juga sosial budayanya, dimana pemerintah harus hadir memberi ruang ekspresi bagi penghayat kepercayaan dengan lebih terbuka.
Ia menilai keterbukaan ruang sudah semakin baik, karena KMA mendorong eksistensi penghayat yang menganut kepercayaan ini, menunjukkan eksistensinya dan dibantu untuk memperjuangkan kesetaraannya, misalnya dalam hal mendapatkan pekerjaan.
Sementara kerja sama dengan Kemensos dan KKP, katanya, dilakukan dalam mendampingi masyarakat adat pesisir atau pedalaman seperti Suku Rimba di Jambi. Ditjen Kebudayaan mendorong supaya bantuan seperti pembangunan rumah tinggal disesuaikan dengan budayanya.
“Itu pembangunannya jangan dibangun beton, anak Suku Rimba lebih menyatu dengan alam, ada satu bulan tertentu yang sudah jadi rutinitas mereka untuk berpindah tempat, apalagi kalau ada anggota keluarga yang meninggal, mereka akan pindah dan akhirnya (lokasi sebelumnya) didiami oleh suku anak datang melalui perkebunan kelapa sawit,” ujarnya.
Kemudian, bantuan berupa pemberian kapal tangkap ikan dengan fiber, KMA mendorong Kemensos agar sosialisasi penggunaan juga diikuti dengan pelajaran merawat kapal, sehingga bantuan tidak akan sia-sia akibat kapal rusak yang berpotensi terbengkalai.
Hal yang sama juga berlaku pada pemberian bantuan berupa peralatan pertanian modern. Seperti, masyarakat Papua yang bercocok tanam sagu, bantuan tidak boleh memberikan traktor, karena tidak akan digunakan efisien.
Dari kerja sama itulah, bisa dibangun kesadaran masyarakat adat untuk menjaga keberlanjutan budaya masing-masing, yang dimulai dari dalam jajaran pemerintahan sambil mensosialisasikan pada masyarakat secara luas.
“Sebenarnya permintaan masyarakat adat tidak banyak, intinya tatanan kehidupan tidak terusik karena banyak dibukanya investasi seperti pertambangan, sehingga menggerus ruang hidup mereka,” ujarnya. (ant/bil)