Akar permasalahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) disebut karena budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat. Hal tersebut disampaikan Eni Widiyanti Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).
“Akar permasalahannya budaya patriarki, yang menganggap perempuan berkedudukan lebih rendah daripada laki-laki, sub-ordinat,” katanya dilansir Antara pada Selasa (5/9/2023).
Sejumlah alasan terjadinya kasus KDRT, di antaranya pelaku yang beralasan karena cemburu, menganggap istri tidak menurut perkataan suami, istri yang tidak merapikan rumah, atau terlambat menyajikan kopi untuk suami.
Menurutnya, sejumlah alasan sepele itu sebenarnya perwujudan dari budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat Indonesia.
“Sehingga seorang istri dianggap tidak pantas untuk mencari nafkah utama, istri lebih pantas di rumah, mengurus keluarga, istri harus diatur, harus tunduk kepada suami,” katanya.
Ia mengatakan upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga penting untuk menyasar akar masalahnya, yakni budaya patriarki.
“Penting sekali untuk menyasar akar permasalahan ini agar dapat dipangkas dan tidak tumbuh atau menyebar menjadi besar,” kata Eni Widiyanti.
KemenPPPA terus melakukan upaya untuk menurunkan kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk upaya penghapusan KDRT.
Dia mengatakan perempuan dan anak merupakan sumber daya manusia yang penting dan harus dilindungi serta diberdayakan.
Hal ini karena perempuan mengisi hampir setengah dari total populasi di Indonesia, sedangkan anak mengisi sepertiga dari total populasi. (ant/saf/ham)