Sabtu, 12 Oktober 2024

Penyimpangan Pramuka Sangat Tinggi di Tahun ke-63

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Lomba pramuka seluruh Surabaya dan Sidoarjo yang diadakan oleh SMA 17 Agustus 1945 (Smatag) Surabaya, pada Sabtu (18/11/2023). Foto: Risky suarasurabaya.net

Hari Pramuka telah memasuki peringatan yang ke-63 tahun, Rabu (14/8/2024) hari ini. Namun, menurut Prof Suyatno Pembina Pramuka Gugus Depan kampus Unesa yang juga mantan Ketua Harian Kwartir Daerah Jawa Timur (Kwarda Jatim) mengatakan kalau pada detik ini, Pramuka menanggung beban sejarah yang sangat berat.

Beban tersebut karena deklinasi atau penyimpangan Pramuka masa kini sangat tinggi. Pramuka yang dulu merupakan sebuah gerakan, sekarang justru dikategorikan sebagai sebuah ekstrakurikuler.

“Pramuka ini kan pendidikan non formal, pendidikan khas yang bukan bakat minat. Tapi oleh sekolah, Pramuka itu disamakan bakat minat, sehingga dibuat pilihan yang sejajar dengan bakat minat lain seperti drum band, tari paskibraka. Kalau disejajarkan, pastinya juga tidak ada yang milih,” jelasnya waktu mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Rabu (14/8/2024) membahas soal perkembangan pramuka saat ini.

Dalam sejarahnya, dia menceritakan sekitar tahun 1976 Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) bersurat ke Kwarnas supaya Gugus Depan ada di sekolah. Tujuannya, supaya anak-anak sekolah yang latihan Pramuka tidak terlalu jauh, serta seragamnya bisa jadi satu dengan yang dipakai bersekolah.

“Tapi lama-lama, pramuka ini menjadi bukan lembaga yang berdiri di sekolah, tapi justru menjadi bagian dari ekstrakulikuler itu,” jelasnya.

Karenanya, Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu mengatakan, pramuka perlu direvitalisasi kembali ke garisnya.

“Pertama sebagai gerakan pendidikan non formal, bukan lagi ekstrakurikuler. Kemudian kedua, pemerintah punya tanggung jawab membangun gerakan Pramuka supaya hidup di Bangsa Indonesia,” ucapnya.

Dia mengungkapkan, sejak dijadikan ekstrakurikuler pilihan oleh Pemerintah, penurunan minat siswa-siswi mengikuti Pramuka makin terlihat. Terkait kebijakan tersebut, Suyatno bahkan menilai seperti Kemendikbudristek seolah-olah “takut” dengan pramuka.

Apalagi, Pramuka dianggap sebagai sebuah kegiatan yang berat karena harus masuk hutan, susur sungai, hingga berkemah.

“Kata hutan itu sekarang kan dimaknai sesuatu yang berat. Padahal sekarang ini, hutan dan sungai itu pada menangis, karena tidak didatangi anak-anak pramuka. Penurunannya sangat tinggi,” ujarnya.

Ketua Harian Kwarda Jatim itu mengatakan kalau mengikuti pramuka sifatnya sukarela atau tidak bisa diwajibkan, namun hal tersebut berdasarkan aturan internal, bukan secara umum.

Dia memperjelas sejak awal sekolah tidak mewajibkan siswa-siswi ikut pramuka, namun tetap mewajibkan kepramukaan seperti pelajaran lain, layaknya kewarganegaraan.

“Nah yang bisa dipakai di sekolah itu adalah metode keperamukaannya, ketika berjalan dengan bagus maka tidak ada salahnya sekolah nyarankan muridnya menjadi anggota gerakan Pramuka,” ucapnya.

Selain itu, Prof Suyatno berpendapat kalau kegiatan kepramukaan seharusnya sangat sangat relate dengan kebutuhan anak zaman sekarang yang suka mencari hal-hal baru. Sayangnya, sekarang hal-hal baru tersebut dicari anak di dunia digital.

“Ini kalau digeser ke hutan kan mereka senang, bisa juga jadi bahan update status mereka (di media sosial). Apalagi anak kecepatan literasinya bagus banget, nah kecepatan literasi ini akan lebih kuat, jika di kepramukaannuya dia menikmati alam bebas dan literasinya dimasukan ke digital mereka,” bebernya.

Adapun faktor lain yang membuat minat kepada pramuka semakin turun, lanjut Suyatno, banyak pembina yang tidak punya latar belakang pramuka, melainkan sebatas guru yang ada di sekolah-sekolah. Padahal seharusnya yang menjadi pembina adalah orang-orang yang berpengalaman di Pramuka.

Untuk itu, dia berharap semua elemen yang dulu pernah menjadi pramuka baik yang sekarang jadi tentara, pedagang dosen, dokter, hingga penyiar radio untuk turun gunung, membantu problematika Gugus Depan yang ada di sekolah.

“Karena sekarang ini image kemah saja beda, kemah ternyata di halaman sekolah, di vila. Jadi tidak pernah berani masuk hutan karena ketakutan yang tidak ada ujung. Padahal kita punya manajemen risiko. Jadi harapannya ke depan, ayo lah. Gerakan ini sebagai gerakan. Artinya semua bidang, semua orang, semua ahli, itu terlibat bersama-sama demi gerakan Pramuka,” pungkasnya. (bil/iss)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Bunga Tabebuya Bermekaran di Merr

Kebakaran Pabrik Plastik di Kedamean Gresik

Kecelakaan Mobil Box di KM 12 Tol Waru-Gunungsari

Surabaya
Sabtu, 12 Oktober 2024
34o
Kurs