Rabu, 3 Desember 2025

Ahli Sarankan Agroforestry sebagai Solusi Seimbang Ekonomi dan Lingkungan

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Polda Sumatera Utara dan tim gabungangan mencari korban terdampak bencana di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Foto: Bidang Humas Polda Sumut

Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat telah menelan korban jiwa hingga ratusan.

Data terbaru dari Dashboard Penanganan Darurat Banjir dan Longsor Sumatera 2025, yang dikelola Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Bencana (Pusdatin BNPB), mencatat hingga Rabu (3/12/2025) pukul 09.00 WIB, korban meninggal mencapai 753 orang. Selain itu, tercatat 650 orang hilang dan 2.600 mengalami luka-luka.

Bencana yang melanda 50 kota dan kabupaten ini juga memaksa sekitar 576.000 warga mengungsi. Secara keseluruhan, BNPB memperkirakan total penduduk terdampak mencapai 3,3 juta jiwa, dengan rincian 1,7 juta di Sumatra Utara, 1,5 juta di Aceh, dan 141.800 di Sumatra Barat. Kerusakan infrastruktur tidak kalah parah: 3.600 rumah rusak berat, 2.100 rusak sedang, dan 3.700 mengalami kerusakan ringan.

Hepi Hapsari Handayani Dosen Teknik Geomatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menekankan pentingnya mitigasi bencana untuk meminimalkan korban.

“Bencana ini merupakan akumulasi beberapa faktor. Namun sejatinya risikonya bisa dikurangi. Mitigasi, kesiapsiagaan, hingga rehabilitasi harus berjalan berkesinambungan agar korban jiwa bisa diminimalkan,” ujarnya dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Rabu pagi.

Menurut Hepi, topografi Sumatera yang terdiri dari dataran tinggi, lereng curam, dan lembah dataran rendah membuat aliran air hujan deras bergerak cepat. Meski demikian, ia menegaskan bahwa mitigasi tetap perlu dilakukan.

Mitigasi yang dimaksud mencakup dua pendekatan: struktural dan nonstruktural. Mitigasi struktural meliputi pembangunan infrastruktur pengendali aliran air, sedimentasi, penahan banjir, dan normalisasi sungai. Sementara mitigasi nonstruktural berkaitan dengan pengelolaan tata ruang, pengendalian lingkungan, konservasi daerah aliran sungai, serta edukasi masyarakat untuk menjaga lingkungan.

Faktor utama yang memicu bencana kali ini adalah curah hujan tinggi akibat siklon tropis, yang terjadi di lingkungan yang belum mampu menyerap air secara optimal. Kurangnya edukasi dan kesiapsiagaan masyarakat juga menjadi faktor penentu. Semua faktor ini terakumulasi sehingga menimbulkan korban dalam jumlah besar,” jelas Hepi.

Selain itu, aktivitas manusia turut memperburuk kondisi. Deforestasi, pembalakan liar, dan ekspansi perkebunan sawit mengurangi kemampuan alam menahan air. Hepi menekankan pentingnya keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan, misalnya melalui sistem agroforestry.

“Agroforestry memungkinkan tanaman bernilai ekonomi tinggi ditanam bersama pohon berakar dalam sehingga dapat menjaga lingkungan sekaligus memberikan penghasilan bagi masyarakat,” jelasnya.

Meski bencana ini melanda tiga provinsi, penentuan status bencana nasional tetap berdasarkan indikator resmi BNPB, termasuk jumlah korban. Hepi menekankan pentingnya respons cepat yang terkoordinasi dan berbasis data.

“Apakah statusnya nasional atau tidak, seluruh masyarakat Indonesia perlu saling berempati dan memperkuat satu sama lain,” tuturnya. (saf/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Perpaduan Macet dan Banjir di Kawasan Banyuurip-Simo

Banjir Menggenangi Sidosermo 4

Kecelakaan Bus Vs Truk Gandeng di Jembatan Suramadu

Perpaduan Hujan dan Macet di Jalan Ahmad Yani

Surabaya
Rabu, 3 Desember 2025
33o
Kurs