
Sri Mulyani Menteri Keuangan merespons kritik terkait realisasi anggaran pendidikan yang masih di bawah 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI yang membidangi keuangan, moneter, dan jasa keuangan, di Jakarta, Selasa (22/7/2025), Sri Mulyani mengatakan meskipun anggaran pendidikan ditetapkan 20 persen dari anggaran pendapatan belanja negara, realisasinya bisa berfluktuasi karena sifat komponen belanja negara yang dinamis.
Menurutnya, komponen seperti belanja modal, belanja barang, subsidi, kompensasi, dan belanja bunga, dapat berubah sesuai kebutuhan dan kondisi.
“Belanja modal tergantung dari penyerapan. Kalau penyerapannya lebih rendah berarti 20 persennya bisa terlewati. Kalau belanja barang, perjalanan dinas segala macam plus program-program, itu pun penyerapannya bisa lebih rendah, bisa lebih tinggi,” katanya, dilansir dari Antara.
Ia mencontohkan, saat terjadi El Nino, penambahan bantuan sosial (bansos) membuat harga belanja naik, sehingga persentase 20 persen yang dialokasikan seolah-olah terlihat lebih rendah dari target awal.
Sri Mulyani juga memaparkan tujuan penempatan sebagian dana pendidikan di pos pembiayaan, yakni seperti menyediakan bantalan atau cushion, mengingat kondisi ekonomi yang terus bergerak.
Ia menekankan bahwa APBN memiliki banyak fungsi dan tujuan lain yang juga harus diperhatikan secara seimbang, tidak hanya fokus pada satu sektor.
Dia membantah anggapan bahwa realisasi anggaran pendidikan yang tidak mencapai 20 persen adalah by design atau kesengajaan.
“RUU-nya kan dibahas dan selalu itu 20 persen sebelumnya. Exposed-nya bisa jadi tadi 17 persen, 18 persen,” katanya.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa meskipun dialokasikan 20 persen, tidak semua dana harus serta-merta dibelanjakan. Prioritasnya adalah kualitas dan tata kelola belanja.
“Maka waktu itu kemudian dibuatlah sebuah wadah yang disebut dana abadi pendidikan. Supaya jangan sampai oh karena harus 20 persen harus habis nanti sekolah yang pagarnya enggak rusak diganti pagarnya,” ucap Sri Mulyani.
Dalam rapat tersebut, Dolfie Othniel Frederic Palit Wakil Ketua Komisi XI DPR RI mempertanyakan realisasi anggaran pendidikan yang tidak mencapai 20 persen dari APBN, sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Dolfie menyoroti realisasi anggaran pendidikan cenderung tidak berkembang sejak 2007, meskipun telah melewati dua periode pemerintahan berbeda dan pernah menjadi subjek gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Ia memaparkan data bahwa pada 2007, realisasi anggaran pendidikan adalah 18 persen, kemudian turun menjadi 15,6 persen pada 2008. Angka ini tidak banyak berubah dalam beberapa tahun terakhir: 15 persen pada 2022, 16 persen pada 2023, dan 17 persen pada 2024.
Bahkan untuk tahun 2025, diperkirakan akan tetap 17 persen karena adanya cadangan dana pendidikan yang ditempatkan dalam pembiayaan.
“Putusan MK tahun 2007 menyatakan Undang-Undang Dasar adalah hukum tertinggi yang tidak boleh ditunda-tunda pelaksanaannya. Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang diabaikan,” tegas Dolfi, mengutip putusan MK yang menyebutkan bahwa 20 persen anggaran pendidikan seharusnya ditempatkan di belanja, termasuk komponen gaji pendidikan.
“Oleh karena itu, ke depan 20 persen ini harapan kita semua adalah memasukkan semuanya di belanja. Tidak ada lagi cadangan yang sengaja untuk tidak direalisasikan, sehingga realisasi 20 persen anggaran pendidikan tidak pernah mencapai 20 persen,” tutur Dolfie.(ant/dis/ris/ipg)