Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri tengah memburu dua warga negara asing (WNA) dalam kasus dugaan pengancaman, pemerasan, serta penyebaran data pribadi bermodus pinjaman online (pinjol) ilegal bernama “Dompet Selebriti” dan “Pinjaman Lancar”.
Kombes Pol Andri Sudarmadi Wadirtipidsiber Bareskrim Polri mengatakan kedua WNA tersebut merupakan pelaku dari klaster pengembang aplikasi.
“WNA yang saat ini masih dilakukan pencarian atas nama LZ yang berlatar belakang dari ‘Pinjaman Lancar’,” kata Andri dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (20/11/2025) seperti dikutip Antara.
Satu tersangka lain berinisial S yang berasal dari pinjol “Dompet Selebriti”. Keduanya merupakan WNA China dan telah ditetapkan sebagai daftar pencarian orang (DPO). Andri menambahkan, dua WNA itu diduga berkaitan dengan PT Odeo Teknologi Indonesia yang berperan sebagai payment gateway.
“Tentunya ini ada kaitannya dengan PT Odeo dan kami tidak berhenti di situ, kami terus melakukan pendalaman,” ujarnya.
Dalam kasus ini, penyidik juga menetapkan tujuh tersangka lain yang terbagi dalam klaster penagihan dan klaster pembayaran.
Pada klaster penagihan, tersangka meliputi NEL alias JO sebagai desk collection (DC) “Pinjaman Lancar”; SB selaku leader DC “Pinjaman Lancar”; RP sebagai DC “Dompet Selebriti”; serta STK selaku leader DC “Dompet Selebriti”.
Barang bukti yang disita dari para pelaku antara lain 11 unit ponsel, 46 SIM card, satu SD card, tiga laptop, serta satu akun mobile banking.
Sementara pada klaster pembayaran yang ditangani PT Odeo Teknologi Indonesia, tersangka berstatus karyawan internal, yakni IJ sebagai Finance, AB sebagai Manajer Operasional, dan ADS sebagai Customer Service.
Barang bukti yang ditemukan dari ketiganya mencakup 32 unit ponsel, 12 SIM card, sembilan laptop, satu monitor, tiga mesin EDC, berbagai kartu ATM, identitas, 11 buku rekening, lima token internet banking, serta dokumen perjanjian kerja sama dan dokumen perusahaan.
Pengungkapan kasus ini bermula dari laporan korban berinisial HFS. Pada Agustus 2021, HFS mengajukan pinjaman melalui aplikasi dengan mengirimkan foto KTP dan swafoto wajah. Pinjaman tersebut telah dilunasi, namun pada November 2022 HFS kembali mendapat ancaman melalui SMS, WhatsApp, dan media sosial.
Karena teror yang berlanjut, HFS kembali melakukan pembayaran berkali-kali meski tidak mengajukan pinjaman baru. Teror ini memuncak pada Juni 2025.
“Total kerugian yang dialami oleh korban yang telah melunasi pinjaman, namun terus diperas untuk pinjaman yang tidak diajukan lagi, mencapai sekitar Rp1,4 miliar,” kata Andri. (ant/bil/ham)
NOW ON AIR SSFM 100
