
Buku berjudul “Transformasi Permukiman: Kelola Lingkungan Berkelanjutan” karya Edi Priyanto, seorang pegiat lingkungan, menawarkan perspektif yang berbeda dalam sektor permukiman di tengah derasnya arus pembangunan dan isu perubahan iklim global.
Buku tersebut, tidak berangkat dari teori di ruang akademik atau narasi dari para elite, melainkan suara dan pengalaman nyata dari jalan-jalan RT dan RW yang menurutnya, selama ini nyaris tak terdengar.
“Setiap perubahan besar dalam sejarah umat manusia sejatinya tidak pernah dimulai dari gedung-gedung tinggi atau ruang rapat megah. Ia kerap bermula dari tempat-tempat kecil dan sederhana, dari hati-hati yang gelisah namun penuh keyakinan akan harapan,” katanya dalam keterangan yang diterima, pada Senin (30/6/2025).
Ia menjelaskan, buku tersebut membahas beberapa bagian, mulai dari penerjemahan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) ke level komunitas, membangun ekonomi sirkuler melalui bank sampah, hingga strategi menyusun organisasi lingkungan warga yang kolaboratif dan berkelanjutan.
Di dalamnya, juga terselip kisah nyata perjuangan komunitas dalam menyulam harapan, menghadapi tantangan masyarakat modern, dan menciptakan budaya baru dalam mengelola lingkungan.
“Buku ini bukan sekadar dokumentasi, tapi juga ajakan. Ajakan untuk percaya bahwa warga biasa punya kekuatan untuk mengubah nasib ruang hidupnya.
Buku tersebut, jelas dia, tidak bicara tentang revolusi besar, tapi tentang keberanian untuk memulai dari langkah kecil dari saluran air (got), halaman rumah, hingga ruang musyawarah warga. Bahkan, ia mengatakan bahwa buku tersebut tidak ditulis dengan bahasa yang menggurui, namun menawarkan dialog.
Valent Hartadi, pendiri platform komunitas @rtrwnetwork, memberikan apresiasi yang tinggi terhadap buku tersebut. Baginya, peran RT dan RW dalam masyarakat modern jauh lebih luas dari sekadar administrasi kependudukan.
“Buku ini mencerminkan lima fungsi strategis RT dan RW, sosial-kultural, edukasi, keamanan, pemberdayaan, dan kolaborasi digital. Ini bukan hanya tentang lingkungan, tapi tentang masa depan masyarakat Indonesia yang lebih partisipatif,” uucapnya.
Ia menilai bahwa Transformasi Permukiman layak menjadi referensi wajib bagi pengurus RT, kader lingkungan, ASN, aktivis, dan komunitas-komunitas akar rumput di seluruh Indonesia.
“Yang membuat buku ini semakin menarik adalah pendekatannya yang lintas perspektif, menggabungkan nilai-nilai lokal, semangat gotong royong, pendekatan berbasis data, hingga bingkai global SDGs yang dijalankan dalam konteks hiperlokal,” katanya.
Ia mengatakan, bagi banyak pembaca, buku tersebut akan menjadi cermin sekaligus lentera untuk melihat bagaimana kampung-kampung bisa bangkit menghadapi tantangan zaman, serta untuk menerangi jalan perubahan di ruang-ruang yang sering terlupakan.
Transformasi permukiman menurutnya mengajarkan satu hal penting, yakni untuk menjaga bumi, tak perlu menunggu jadi pejabat, tak perlu menunggu jadi pakar, tapi cukup mulai dari langkah kecil, dari tempat berpijak.
“Sebab, ketika satu kampung bergerak, satu kota bisa berubah. Dan ketika banyak kampung bangkit, bangsa ini akan bertransformasi,” pungkasnya.(ris/ipg)