
Aktivitas membakar sampah di lingkungan perumahan masih sering terlihat. Kebiasaan membakar sampah ini dinilai sebagai cara “praktis” membersihkan halaman, padahal berisiko besar.
Tak hanya bisa memicu kebakaran di musim panas ekstrem, asapnya juga berdampak buruk bagi kesehatan. Meski pemerintah kota sudah berulang kali mengimbau agar tidak membakar sampah, masih banyak warga yang abai.
Padahal, larangan membakar sampah sudah diatur dalam UU No.18 Tahun 2008 dan Perda Kota Surabaya No.5 Tahun 2014. Pelanggarnya terancam kurungan enam bulan atau denda hingga Rp50 juta. Namun, sanksi itu tampaknya belum cukup membuat jera.
“Mungkin karena masih minim kesadaran dan enggan memilah antara sampah organik dan non-organik,” ujar Ari Baskoro dokter sekaligus pengajar di Universitas Airlangga mengatakan, .
Di sisi lain, kebiasaan masyarakat menggunakan plastik sekali pakai masih tinggi. Dari pasar tradisional hingga warung makan, kantong plastik tetap jadi andalan karena murah dan praktis. Sayangnya, sangat sedikit warga yang peduli ke mana akhirnya plastik-plastik itu berakhir.
Fenomena serupa terjadi di skala industri. Beberapa waktu lalu, sempat muncul kabar pabrik tahu yang menggunakan limbah plastik sebagai bahan bakar. Selain berbahaya, praktik ini memperparah pencemaran udara dan tanah. Ironisnya, penanganan serius baru muncul setelah kasus tersebut disorot media asing.
Kini, kekhawatiran baru datang dari hasil riset yang menemukan mikroplastik (MP) di air hujan Jakarta. Partikel kecil tak kasat mata ini dikhawatirkan juga menyebar di kota lain. “Fenomena ini bisa jadi cermin bagi kota besar lain, termasuk Surabaya,” kata Ari.
Menurutnya, mikroplastik terbentuk dari degradasi plastik yang terpapar panas dan sinar matahari. Dalam jangka panjang, partikel ini bisa masuk ke rantai makanan dan terakumulasi di tubuh manusia.
“Efeknya bisa memicu gangguan hormon, kerusakan DNA, bahkan risiko kanker,” jelas penulis buku “Catatan Harian Seorang Dokter” itu.
Data Badan Pusat Statistik (2024) mencatat, timbunan sampah plastik di Indonesia mencapai 7,68 juta ton per tahun, atau 12 persen dari total sampah nasional. Ironisnya, sebagian besar sampah itu tidak didaur ulang, melainkan dibakar atau dibuang begitu saja ke lingkungan.
Untuk mengatasi masalah ini, Ari menilai diperlukan pengelolaan sampah yang lebih modern. “Teknologi bisa mengubah sampah menjadi energi terbarukan, misalnya listrik. Tapi sebelum itu terwujud, masyarakat perlu lebih sadar untuk memilah sampah sejak dari rumah,” ujarnya.
Ari berharap, kampanye nasional seperti Gerakan Pilah Sampah dapat terus digencarkan. “Suatu saat, kita harus mampu mencapai zero waste dan zero emission. Semua itu bermula dari kesadaran kecil di rumah kita sendiri,” ujarnya. (saf/faz)