
Wacana pemerintah menyusutkan ukuran rumah subsidi menjadi hanya “18 meter persegi” panen kritik, baik dari masyarakat, akademisi, maupun arsitek.
Ir. Wawan Ardian Suryawan Dosen Arsitektur ITS menilai rencana pemerintah melalui Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) itu, tidak sejalan dengan konsep rumah layak huni yang seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara.
“Sejak 1996 kita sudah membahas tentang konsep rumah layak huni yang tidak hanya soal keluasan, tapi juga rasa aman, nyaman, dan sehat. Jadi bukan cuma tempat berteduh. Rumah itu tempat manusia menjalani hidup secara utuh,” kata Wawan dalam program Wawasan Suara Surabaya, Senin (16/6/2025) pagi, membahas wacana penyusutan rumah subsidi menjadi hanya “18 meter persegi.”
Untuk diketahui, Kementerian PKP berencana mengurangi ukuran rumah tapak bersubsidi. Melalui perubahan Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025, luas tanah akan diperkecil menjadi minimal 25 meter persegi, sedangkan luas bangunan minimal 18 meter persegi.
Contoh desain rumah subsidi 18 meter persegi. Foto: Dok Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman
Rencana ini sebelumnya disebut bertujuan memperluas dan menambah pilihan rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), khususnya di perkotaan dengan lahan terbatas.
Adapun harga rumah subsidi 18 meter persegi itu diperkirakan mulai dari Rp108 juta, Rp110 juta, hingga Rp120 juta, namun tetap tergantung lokasinya.
Meski demikian, menurut Wawan, ukuran rumah subsidi yang ideal harusnya tetap berada di angka minimal 36 meter persegi. Hal itu mengacu pada standar nasional Indonesia (SNI) tahun 2002 dan peraturan Menteri PUPR.
“Angka 36 meter persegi itu sudah hasil riset panjang. Itu dianggap ukuran paling ideal untuk satu keluarga kecil, terdiri dari orang tua ayah dan ibu, serta dua anak dengan minimal kebutuhan sembilan meter persegi per orang. Bahkan riset lain juga menyebut angka 25 sampai 41 meter persegi, tergantung pada aspek budaya dan ergonomi,” jelasnya.
Selain itu, kata Wawan, rumah ideal tidak hanya dilihat hanya dari luasan semata. Banyak aspek lain yang perlu dipertimbangkan secara sistemik, mulai dari struktur bangunan, pencahayaan, ventilasi, hingga akses keluar-masuk dan keamanan lingkungan.
“Struktur bangunannya harus aman, jangan asal bangun lalu roboh saat hujan deras atau kena angin kencang. Listrik, air bersih, pencahayaan, itu juga harus layak. Jangan lupa, akses jalan dan lingkungan sosial juga penting. Rumah tidak bisa nempel tanpa jalan keluar,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa kebutuhan tiap keluarga bisa berbeda, tergantung budaya dan agama. “Seorang Muslim perlu tempat salat, umat Hindu butuh tempat sesaji. Rumah itu harus bisa menampung kebutuhan spiritual juga,” imbuhnya.
Pengamat pekotaan ITS itu pun mengaku prihatin dengan rumah subsidi 18 meter persegi yang diwacanakan pemerintah. Menurutnya, rumah sekecil itu lebih mirip kos daripada rumah untuk keluarga.
“Kalau rumahnya cuma 3×6 meter, semua aktivitas tumpang tindih. Tidur, makan, belajar, semua jadi satu ruangan. Privasi hilang, anak-anak tidak bisa belajar dengan tenang, orang tua tidak bisa istirahat. Itu memicu stres luar biasa,” ujarnya.
Ia pun menilai alasan pemerintah untuk mengejar keterjangkauan harga rumah dengan mengecilkan ukuran perlu ditinjau ulang. Wawan mengatakan hal ini bukan solusi, melainkan justru berpotensi memunculkan masalah baru.
“Rumah terlalu sempit justru memicu masalah baru. Pertengkaran antaranggota keluarga, tidak ada ruang pribadi, akhirnya berdampak ke kesehatan mental,” kata Wawan.
Adapun wacana itu sebelumnya dikeluarkan Kementerian PKP karena lahan yang dinilai makin sempit. Tapi, Wawan menyebut seharusnya ada pendekatan yang lebih cerdas.
Contohnya, jika permasalahannya adalah luas lahan, maka bisa dibangun konsep rumah tumbuh dan hunian yang vertikal seperti rumah susun. Ia juga menilai ide rumah dua lantai atau mezanin bisa menjadi alternatif.
“Kita sekarang harus berpikir ke arah vertikal. Tapi ya tetap, per unit minimal 36 meter persegi. Jangan dipaksa 18 meter tapi dua lantai, tetap saja sempit,” tegasnya.
Wawan juga mengingatkan bahwa hari ini rumah tidak hanya menjadi tempat tidur, namun juga ruang aktivitas ekonomi, terutama untuk generasi muda.
“Sekarang banyak rumah yang juga dipakai jualan, usaha rumahan, atau kerja dari rumah. Jadi ruang serbaguna itu penting. Tapi tetap ada tiga fungsi dasar yang nggak bisa diganggu: tidur, memasak, dan MCK (mandi, cuci, dan kakus atau buang air),” ujarnya.
Kemunculan konsep rumah mungil menurutnya bisa diterima, asal ada dukungan lingkungan sosial. Seperti ada taman, ruang sosialisasi, tempat bermain anak, atau fasilitas publik.
“Rumah sempit masih bisa ditoleransi asal ada ruang healing di luar rumah,” tambahnya.
Wawan mengkritisi inkonsistensi pemerintah dalam arah kebijakan. Di satu sisi mendorong rumah vertikal, tapi di sisi lain tetap memfasilitasi rumah tapak yang sempit.
“Orang Indonesia masih suka rumah yang bisa diinjak, bukan tinggal di atas lantai 10. Tapi kalau rumah tapaknya cuma 14 atau 18 meter, ya nggak manusiawi juga. Itu yang harus jadi catatan serius,” katanya.
Karenanya, Wawan mengajak pemerintah untuk tidak hanya mengejar angka capaian rumah subsidi, tapi benar-benar memikirkan kualitas hidup penghuninya.
“Kalau pemerintah tetap ngotot di 18 meter persegi, harus ada solusi jangka panjang. Rumah itu bukan cuma bangunan fisik, tapi ruang hidup. Harus layak secara sosial, psikologis, dan kultural. Kalau tidak, kita cuma memindahkan masalah dari jalanan ke dalam rumah,” pungkasnya. (bil/iss)