
Dedy Stansyah Dosen Hukum Agraria Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) mengingatkan pentingnya aspek keamanan dalam perubahan sertifikat tanah ke bentuk elektronik.
Ia menegaskan, sistem pertanahan elektronik harus memiliki perlindungan yang kuat dari ancaman kejahatan siber, agar tidak terjadi peretasan.
“Pemerintah, dalam hal ini Kementerian ATR/BPN, harus memastikan sistem keamanannya benar-benar kuat. Jangan sampai data kepemilikan bisa diretas oleh akun-akun anonim. Akses terhadap sertifikat juga harus dibatasi hanya kepada pihak yang berwenang,” katanya, Selasa (27/5/2025).
Ia juga mengingatkan soal perlunya sistem yang jelas mengenai alih waris jika pemilik sertifikat elektronik meninggal dunia.
Selain itu, ia menyarankan agar ada sistem pencadangan data secara berkala untuk mengantisipasi risiko kebocoran sistem atau bencana.
“Perlu ada backup data secara rutin. Jangan sampai informasi tanah hilang hanya karena kegagalan sistem. Ini semua demi menjaga hak-hak masyarakat atas tanah mereka,” ucapnya.
Untuk memaksimalkan upaya tersebut, ia juga menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat mengenai penggunaan sertifikat elektronik, mengingat tidak semua masyarakat Indonesia melek teknologi.
Pihaknya memandang, perubahan sertifikat tanah ke bentuk elektronik merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan efisiensi dan aksesibilitas layanan pertanahan, tapi tetap harus diikuti oleh penguatan program tersebut.
“Digitalisasi itu bagus, tapi kita juga harus peka terhadap realitas masyarakat. Jangan sampai perubahan ini justru membingungkan masyarakat, terutama yang belum memahami teknologi digital,” katanya.
Dengan berbagai pertimbangan itu , ia berharap proses transformasi menuju sertifikat elektronik dilakukan secara hati-hati, bertahap, dan disertai edukasi publik yang masif agar tidak menimbulkan kebingungan atau kerugian di tengah masyarakat.
Dalam kesempatan itu, ia juga menjelaskan bahwa secara hukum, sertifikat tanah lama tersebut masih sah dan berlaku sebagai alat bukti kepemilikan hingga tahun 2026.
Hal itu, mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
“Dokumen-dokumen seperti Petok D, girik, petikan, atau bekas tanah adat lainnya masih dapat digunakan sebagai rujukan dalam proses pendaftaran tanah, namun tidak lagi sebagai bukti hak setelah 2026,” bebernya.
Seperti diketahui sebelumnya, pemerintah melalui Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengimbau agar pemilik sertifikat tanah fisik terbitan tahun 1961 hingga 1997 segera memperbarui dokumen mereka ke bentuk digital atau sertifikat elektronik.
Imbauan itu, disampaikan lantaran sertifikat tanah yang terbit pada periode tersebut umumnya belum memiliki peta kadastral sebagai informasi dasar yang penting dalam sistem pertanahan modern.(ris/iss)