
Belakangan kembali ramai fenomena tenda hajatan warga memakan badan jalan di wilayah perkotaan yang dikeluhkan banyak masyarakat Surabaya. Bukan doa restu yang didapat, melainkan kritik keras dari masyarakat.
Pasalnya, masyarakat yang beraktivitas di perkotaan resah karena aktivitas itu biasanya bahkan sampai menutup jalan sepenuhnya, tanpa disertai pengalihan ke jalur alternatif, hingga menyebabkan kemacetan panjang.
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya pun merespons. Rencananya, Pemkot bersama kepolisian dalam waktu dekat akan membahas aturan izin pendirian tenda hajatan yang menggunakan badan jalan maupun menutup jalan tersebut.
Respons juga datang dari akademisi, Doktor Karnaji Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair). Karnaji menegaskan, langkah Pemkot Surabaya untuk memperketat izin pendirian tenda hajatan adalah bentuk penegakan aturan formal yang diperlukan dalam masyarakat perkotaan.
“Kalau Pak Wali Kota mau memperketat itu, ya itu bagian dari upaya menegakkan aturan bersama. Karena masyarakat kota ini saling kenalnya tipis, jadi harus ada aturan formal yang tegas dan penegakannya juga kuat,” ujarnya dalam program Wawasan Suara Surabaya, Selasa (21/10/2025)
Sementara dari sisi sosiologi, dia menilai persoalan hajatan di jalanan kota bukan hanya soal tradisi, tapi juga tentang bagaimana masyarakat kota menempatkan kepentingan pribadi dan publik secara proporsional.
“Karakteristik masyarakat kota itu lebih cenderung pada individu, pada kepentingan pribadi. Karena itu, kerangka bermasyarakatnya harus berdasar pada aturan formal,” bebernya.
Selain itu, menurut Karnaji karakteristik masyarakat perkotaan berbeda dengan di desa. Masyarakat perkotaan tidak memiliki ikatan sosial yang kuat antarwarga layaknya di desa. Karena itu, perilaku yang berkaitan dengan ruang publik harus diatur secara tegas agar tidak menimbulkan konflik.
“Kalau di desa bisa dirasani kalau melanggar, tapi kalau di kota orang tidak saling kenal. Jadi, perilaku yang menyangkut kepentingan publik harus diatur oleh hukum formal,” katanya.
Karnaji melanjutkan, kegiatan pribadi seperti hajatan seharusnya tidak mengorbankan akses publik.
“Kalau ini kepentingan pribadi kemudian berbenturan dengan kepentingan publik, ya tentu kepentingan publik yang harus didahulukan,” tegasnya.
Dia memberi contoh, kegiatan yang sifatnya umum seperti nikah massal masih bisa dimaklumi karena memiliki dimensi sosial dan publik. Namun, jika pesta dilakukan secara pribadi dengan menutup jalan umum, maka perlu ada penegakan aturan yang lebih tegas.
“Harus diutamakan kepentingan publik karena itu kepentingan bersama. Sementara hajatan nikah itu kan kepentingan pribadi. Jadi solusinya harus dicari tanpa mengorbankan akses publik,” tambahnya.
Lebih lanjut, Karnaji menilai akar masalah sering kali muncul karena minimnya komunikasi antarwarga dan aparat tingkat bawah. Contohnya, bisa jadi tidak ada komunikasi yang ideal antara panitia hajatan, dengan perangkat RT/RW atau kelurahan.
“Jadi orang merasa sudah selesai urusannya dan langsung pasang tenda,” ucapnya.
Padahal, menurut Karnaji aparat di tingkat RT dan RW memiliki peran penting sebagai ujung tombak dalam mengatur koordinasi sebelum hajatan digelar.
“RT itu kan datanya paling akurat. Kalau sudah tahu akan ada hajatan, seharusnya bisa ada komunikasi soal jalur alternatif, misalnya,” jelasnya.
Lebih lanjut, Karnaji menekankan pentingnya sinergi antarwarga dan aparat dalam menjaga keteraturan sosial di ruang publik. Jika dari pihak penyelenggara dinilai kurang kesadarannya, maka pihak yang berkepentingan harus turun tangan.
“Karena kalau tidak, ambulans atau mobil pemadam bisa terhambat gara-gara kepentingan orang per orang,” kata Karnaji.
Sanksi Tegas Harus Ada
Sosiolog Unair itu juga mengusulkan agar ada sanksi tegas, yang tidak hanya diberikan kepada penyelenggara hajatan tak berizin, tetapi juga kepada penyedia perlengkapan pesta seperti penyewa tenda dan kursi.
“Yang punya kursi, tenda, atau alat pesta juga harus ditanyai, apakah yang punya hajat sudah punya izin atau belum. Kalau belum, ya jangan dipasang dulu. Itu bagian dari tanggung jawab sosial,” ungkapnya.
Pendekatan itu menurutnya bisa mendorong tanggung jawab kolektif agar kepentingan bersama, yaitu kepentingan publik bisa lebih dihargai.
Sebagai solusi, Doktor Karnaji menyarankan Pemkot Surabaya dan warga mulai mensosialisasikan pemanfaatan balai RW, lapangan terbuka, atau gedung serbaguna sebagai lokasi hajatan, tanpa harus menutup jalan umum. Tentu, dengan biaya lebih murah bahkan gratis.
“Kalau ada balai RW bisa disewakan setengah gratis, atau lapangan terbuka yang bisa dipakai. Itu langkah rasional untuk masyarakat kota,” sebutnya.
Selain itu, dia juga menilai semangat gotong royong atau rewang di tingkat kampung bisa dimodernisasi untuk membantu penataan saat hajatan digelar.
“Kalau di desa itu ada rewang atau hansip yang bantu mengatur lalu lintas di sekitar hajatan. Di kota juga bisa, misalnya Karang Taruna membantu sosialisasi jalur alternatif,” tandasnya.(bil/rid)