Fakultas Hukum Universitas Surabaya (FH Ubaya) bersama sejumlah akademisi dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia, mendorong perbaikan implementasi UUD Negara Republik Indonesia 1945 untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis.
Langkah itu, dilakukan lewat seminar nasional yang menghasilkan poin-poin evaluasi dan disampaikan ke Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI).
Hesti Armiwulan Ketua Laboratorium Hukum Tata Negara Ubaya mengatakan, perubahan UUD NRI 1945 bukan tindakan pengkhianatan atau subversif terhadap negara dan penyelenggara negara.
“Dalam upaya perubahan UUD NRI 1945, harus senantiasa meletakkan yang utama, adalah untuk kepentingan rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan negara (inklusi),” katanya di Auditorium Perpustakaan Ubaya Kampus Tenggilis, pada Selasa (4/11/2025).
Hwian Christianto Dekan Fakultas Hukum Ubaya mengatakan bahwa forum tersebut merupakan sarana yang tepat dalam menyikapi sekaligus mengevaluasi situasi ketatanegaraan yang terjadi di Indonesia saat ini
“Selain melihat sejauh apa konstitusi kita sudah berjalan dengan amanah yang diemban, pertemuan ini menjadi lebih menarik karena menghadirkan narasumber-narasumber yang kompeten. Sehingga menjadi ruang diskusi dan kolaborasi serta berpikir dalam memberi kontribusi untuk Indonesia menjadi lebih baik,” ucapnya.
Jimly Asshiddiqie Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI periode 2003-2008 mengatakan, saat ini tercatat sudah 26 tahun reformasi, dan menurutnya sudah waktunya untuk melakukan evaluasi.
“Acara ini saya harapkan menjadi momentum penting, bukan untuk kembali ke masa lalu, melainkan melihat ke depan untuk kita memperbaiki. Kita evaluasi apa yang salah dengan Undang-Undang Dasar perubahan pertama hingga keempat. Kelemahan yang ada bisa jadi terjadi karena implementasinya, bukan urusan rumusan konstitusinya,” ujarnya.
Zainal Arifin Mochtar Guru Besar FH Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta mengatakan bahwa secara substansi banyak yang perlu dievaluasi, mulai dari legislasi, kekuasaan presiden, sistem pemilu, DPR, hingga MK dan MA.
“Kalau ditanya apakah banyak yang kurang? Banyak yang harus diperbaiki. Tapi selama ini, bukan itu yang disasar oleh politisi, yang disasar adalah penguatan legitimasi mereka, bukan publik,” ucapnya.
Usulan amandemen, kata dia, sudah berulang kali terjadi sejak 2012, namun menurutnya lebih sering masuk ke ranah politik elitis saja, tidak melibatkan publik.
“Artinya sekarang, kalau pun mau dilakukan, paling tidak ada empat pertanyaan mendasar. Waktunya sekarang kah? Demi kepentingan siapa? Bagaimana aspirasinya? Dan apa isinya Kalau empat-empatnya terjawab dengan menarik, amandemen bisa terjadi,” ucapnya.
Seperti diketahui, beberapa poin yang dibacakan dalam forum tersebut dan dikirim ke MPR RI, yakni implementasi UUD Negara RI Tahun 1945 dalam penyelenggaraan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan kekuasaan kehakiman. Kemudian, implementasi UUD Negara RI Tahun 1945 dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis. Serta, implementasi UUD Negara RI Tahun 1945 dalam melindungi dan memenuhi HAM. (ris/saf/ipg)
NOW ON AIR SSFM 100
