
Herman Khaeron Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat menyoroti aturan dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-3/MBU/03/2023, khususnya Pasal 84 yang menyebutkan bahwa pajak atas gaji direksi dan honorarium komisaris BUMN ditanggung oleh perusahaan, bukan pribadi penerima.
“Ya, standar BUMN baik terhadap direksi maupun komisaris itu seharusnya kita benchmark terhadap swasta. Karena swasta itu lebih akuntabel. Jangan sampai BUMN justru memanfaatkan regulasi dan permodalan dari negara, tapi kinerja direksi dan komisarisnya tidak imbang,” kata Herman kepada suarasurabaya.net di gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Kamis (21/8/2025).
Menurut Herman, ketentuan tersebut perlu dievaluasi secara menyeluruh, apalagi saat ini ada momentum pembentukan super holding BUMN. Ia mendorong agar kesempatan ini dimanfaatkan untuk melakukan assessment ulang terhadap hak dan kewajiban jajaran direksi maupun dewan komisaris di BUMN.
“Evaluasi ini penting untuk assessment ulang terhadap berbagai hak dan kewajibannya,” tegasnya.
Terkait dengan aturan pajak yang ditanggung BUMN untuk pejabatnya, Herman menyatakan pihaknya sedang meminta roadmap dari Kementerian BUMN sebagai dasar untuk mengevaluasi dan menurunkan kebijakan ke tingkat teknis.
“Jadi nanti kami akan meminta klarifikasi ke BUMN. Kami sedang meminta roadmap-nya. Dari roadmap itu nanti kita turunkan ke hal-hal yang lebih teknis dalam implementasi kebijakan, baik internal maupun eksternal,” jelasnya.
Herman menilai tidak adil jika pajak penghasilan (PPh) direksi dan komisaris BUMN ditanggung oleh negara melalui perusahaan, sementara rakyat dan anggota DPR pun menanggung pajaknya sendiri.
“Soalnya kan warga sendiri bayar PPh sendiri, masa pejabat pajaknya disubsidi? Kalau gajinya besar karena memang kelas BUMN-nya besar, ya biarkan pajaknya ditanggung oleh direksi maupun komisaris. Kami di DPR juga menanggung PPh sendiri,” tandasnya.(faz/ham)