
Benjamin Netanyahu Perdana Menteri Israel pada Sabtu (18/10/2025) menyatakan bahwa perbatasan Rafah antara Gaza dan Mesir, akan tetap ditutup sampai ada pemberitahuan lebih lanjut.
Ia menegaskan, pembukaan kembali perlintasan tersebut akan bergantung pada kesediaan Hamas untuk menyerahkan jenazah para sandera.
Dilansir dari Reuters pada Minggu (19/10/2025), pernyataan itu disampaikan Netanyahu tak lama setelah Kedutaan Besar Palestina di Mesir mengumumkan bahwa perlintasan Rafah—satu-satunya gerbang keluar-masuk utama bagi warga Gaza—akan dibuka kembali pada Senin (20/10/2025) untuk arus masuk ke wilayah tersebut.
Sementara itu, kedua belah pihak terus saling menyalahkan atas pelanggaran gencatan senjata yang ditengahi Amerika Serikat selama beberapa hari terakhir.
Pada Sabtu (18/10/2025) malam waktu Washington, Departemen Luar Negeri AS menyatakan telah menerima “laporan kredibel” yang mengindikasikan akan terjadinya pelanggaran gencatan senjata oleh Hamas terhadap warga Gaza sendiri.
“Serangan yang direncanakan terhadap warga sipil Palestina akan menjadi pelanggaran serius terhadap perjanjian gencatan senjata,” demikian pernyataan resmi Departemen Luar Negeri.
“Jika Hamas melanjutkan serangan ini, berbagai langkah akan diambil untuk melindungi rakyat Gaza dan menjaga integritas gencatan senjata,” lanjut pernyataan itu, tanpa merinci langkah-langkah yang dimaksud.
Menyusul tuduhan tersebut, Hamas membantah keras telah melanggar kesepakatan. Dalam pernyataan pada Minggu (19/10/2025), Hamas menuding Israel membentuk, mempersenjatai, dan mendanai “geng kriminal” yang melakukan pembunuhan, penculikan, dan penjarahan di Gaza.
Menurut Hamas, pasukan kepolisian di Gaza sedang melaksanakan tugas mereka dengan menindak kelompok-kelompok tersebut dan menyerukan agar pemerintah AS berhenti menyebarkan narasi “menyesatkan” dari pihak pendudukan.
Kelompok itu juga dilaporkan tengah melakukan tindakan keras terhadap kelompok bersenjata lokal di kawasan perkotaan yang sebelumnya dikosongkan pasukan Israel, termasuk melalui eksekusi publik dan bentrokan dengan klan-klan bersenjata.
Hamas menyebut keputusan Netanyahu menutup perbatasan Rafah sebagai “pelanggaran terang-terangan terhadap gencatan senjata” dan “pengingkaran terhadap komitmen yang telah disampaikan kepada para mediator.”
Kelompok tersebut juga memperingatkan bahwa penutupan perlintasan akan menghambat masuknya peralatan yang dibutuhkan untuk mencari dan menemukan lebih banyak jenazah sandera yang diduga masih berada di bawah reruntuhan, sehingga memperlambat proses penyerahan jenazah kepada Israel.
Israel pada Sabtu malam menyatakan telah menerima dua jenazah tambahan dari Hamas, menjadikan total 12 jenazah yang telah diserahkan dari 28 jenazah yang tercakup dalam kesepakatan gencatan senjata yang ditengahi AS.
Berdasarkan kesepakatan tersebut, Hamas telah membebaskan 20 sandera warga Israel yang masih hidup dan telah ditahan selama dua tahun. Sebagai imbalannya, Israel setuju untuk membebaskan hampir 2.000 tahanan Palestina, termasuk tahanan yang telah divonis.
Sementara itu, situasi kemanusiaan di Gaza terus memburuk. Hampir seluruh penduduk telah mengungsi dari rumah mereka. Lembaga pemantau kelaparan global telah mengonfirmasi terjadinya kelaparan, sementara layanan kesehatan di Gaza dilaporkan dalam kondisi kewalahan.
Perselisihan terkait pengembalian jenazah dan pengiriman bantuan kemanusiaan yang vital ini menyoroti rapuhnya gencatan senjata dan ancaman terhadap kelangsungan kesepakatan. Isu-isu tersebut juga menjadi bagian dari rencana perdamaian 20 poin yang diajukan Presiden AS Donald Trump untuk mengakhiri perang. (saf/ham)