
Arah pembangunan Jawa Timur (Jatim) tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada tantangan lingkungan dan kebencanaan yang semakin kompleks. Tantangan ini meliputi perubahan iklim, bencana hidrometeorologi, serta degradasi lingkungan akibat aktivitas manusia.
Menurut Gatot Subroto, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim, provinsi ini dikenal sebagai “etalase bencana” karena berbagai potensi ancaman bencana yang ada.
Dengan 14 jenis ancaman bencana yang berbeda, Jatim memiliki keragaman risiko yang tinggi, mulai dari erupsi gunung api, potensi tsunami, banjir, hingga likuifaksi.
“Sesuai data kami dari Januari hingga 9 Oktober 2025, bencana di Jawa Timur didominasi oleh banjir sebanyak 114 kejadian, disusul angin kencang 91 kejadian, dan tanah longsor atau gerakan tanah sebanyak 15 kejadian,” ujar Gatot dalam talk show “Merawat Bumi Majapahit” di Radio Suara Surabaya, Rabu (15/10/2025).
Ia menyoroti bahwa salah satu penyebab utama banjir adalah sampah yang menyumbat aliran sungai. Gatot menjelaskan, meski warga di bantaran sungai sudah tertib membuang sampah, masalah tetap muncul karena adanya “sampah kiriman” dari hulu atau oknum yang membuang sembarangan.
Selain banjir, gerakan tanah juga menjadi ancaman serius, terutama di wilayah perbukitan. Aktivitas penebangan pohon dan galian C ilegal memperparah kondisi tersebut.
Gatot menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor, seperti dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air, hingga masyarakat untuk menjaga kualitas sungai dan sumber air.
“Kita tahu juga di Jawa Timur ada beberapa wilayah yang punya sumber air di sana. Tapi karena sungainya tidak berkualitas airnya sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Ini beberapa PR yang perlu kita jaga, perlu kita kolaborasikan, agar pemberian Tuhan kepada masyarakat Jawa Timur yang indah ini, tetap bermanfaat dan tetap terjaga dengan baik,” harapnya.
Sementara Subarja Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 DLH Jatim menyatakan, dengan jumlah penduduk lebih dari 41 juta jiwa, tantangan lingkungan di Jatim sangat kompleks. Ia menekankan pentingnya pengelolaan sampah dari hulu hingga hilir.
“Kalau kita petakan, pengelolaan sampah di 38 kabupaten/kota belum mencapai 50 persen. Banyak TPA yang masih open dumping, belum dikelola secara teknologi,” jelas Subarja.
Ia menekankan, penyelesaian masalah sampah bukan hanya tugas pemerintah, tetapi membutuhkan gotong-royong semua pihak. Salah satu inovasi yang telah dijalankan adalah program Desa/Kelurahan Bersih dan Lestari (Berseri), yang berjalan sejak 2012.
Subarja juga menyoroti pentingnya pemberdayaan masyarakat, terutama ibu-ibu PKK, dalam membentuk kader lingkungan. Gerakan ini dinilai efektif dalam mengurangi timbulan sampah dan meningkatkan kesadaran warga.
“Emak-emak rumah tangga sangat aktif dalam pengurangan dan penanganan sampah. Jika semua kabupaten/kota berpartisipasi penuh, dampaknya akan luar biasa,” tambah Subarja.
Ia juga menyebutkan target nasional yang dicanangkan Menteri Lingkungan Hidup, yakni Indonesia bebas sampah pada 2029. Untuk mencapai target ini, ia menegaskan bahwa masalah sampah bukan hanya tugas pemerintah semata, tetapi tanggung jawab semua pihak,” tegasnya.
Subarja memperkenalkan slogan ‘Sampahmu tanggung jawabmu, sampahku tanggung jawabku’ untuk mendorong masyarakat memilah sampah dari rumah.
“Jika pemilahan dilakukan dari hulu, sampah yang sampai ke TPA akan sangat kecil. Ini adalah langkah konkret menuju Jatim lestari,” ujarnya. (saf/ipg)