Minggu, 12 Oktober 2025

Jer Basuki Mawa Beya: Cermin Karakter Pejuang dan Pembangun Manusia Jawa Timur

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Tari Thengul Bojonegoro di tarikan di lapangan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Kamis (12/10/2023). Foto: Athalia magang suarasurabaya.net Penunjukan tari di halam Gedung Negara Grahadi, Surabaya. Foto: M. Irfan Azhari Mg suarasurabaya.net

Hari ini, Minggu (12/10/2025), Provinsi Jawa Timur (Jatim) tengah merayakan Hari Jadi yang ke-80 dengan mengangkat tema “Jatim Bangkit.

Tapi yang perlu diperhatikan, setiap kali Hari Jadi Provinsi Jatim dirayakan, semboyan Jer Basuki Mawa Beya selalu digaungkan sebagai pengingat nilai-nilai luhur masyarakat Bumi Majapahit ini.

Namun, di balik ungkapan yang kerap diplesetkan menjadi “kalau tidak ada biaya tidak jalan” itu, sebetulnya tersimpan makna filosofis yang dalam tentang perjuangan dan pengorbanan.

Menurut Cak Heri Lentho seorang Budayawan, semboyan Jer Basuki Mawa Beya sebetulnya tidak sekadar bicara soal uang atau biaya dalam arti material. Lebih dari itu, ungkapan ini mencerminkan karakter masyarakat Jatim yang gigih, berjuang, dan rela berkorban demi kemajuan.

“Sebetulnya kalau saya melihatnya itu kan kalau secara harfiah gitu kan kesannya kita itu kayak apa-apa yang kita mau lakukan itu kan selalu berbiaya. Tapi secara filosofi sebetulnya, misalnya tujuan, kemuliaan itu memerlukan sebuah perjuangan yang dimaksud beya gitu. Di mana sebuah kemajuan juga memerlukan sebuah pengorbanan,” kata Cak Heri kepada Radio Suara Surabaya, Minggu.

Ketua Komunitas JatiSwara itu menambahkan, makna Jer Basuki Mawa Beya sesungguhnya lahir dari semangat pengorbanan yang telah diwariskan para pejuang di Jatim.

“Itu kan perasaan dari lahirnya provinsi ini bahwa negara kita ini merdeka itu kan karena Jawa Timur, terutama Surabaya, melakukan pengorbanan yang luar biasa untuk mempertahankan kemerdekaan. Jadi memaknainya itu tidak hanya kadang-kadang diplesetkan kalau enggak ada uang enggak jalan, tapi justru ada konsep yang sangat menginspirasi bangsa Indonesia, bahwa orang-orang Jawa Timur itu karakter dasarnya adalah pengorbanan dan keikhlasan dalam mempertahankan serta memperjuangkan kemerdekaan,” ujarnya.

Menurut Cak Heri, filosofi ini semestinya menjadi fondasi pembangunan Jatim masa kini. Sayangnya, ia menilai arah pembangunan provinsi masih lebih fokus pada aspek fisik dan material, bukan pada pembangunan karakter manusia. Padahal, secara filosofi, Jer Basuki Mawa Beya itu lebih membangun manusia.

Ia juga menekankan bahwa dalam kehidupan modern, filosofi ini tetap sangat relevan. Baik dalam konteks pribadi maupun pembangunan daerah, keberhasilan selalu membutuhkan perjuangan dan pengorbanan.

“Kalau di personal, sebagai manusia kalau mau maju dia harus berkorban, tenaga, waktu untuk berjuang. Tetapi dalam konteks pembangunan untuk mewujudkan kesetaraan, karakter masyarakat Jawa Timur yang bekerja keras dan selalu berjuang itu memang harus ditekankan,” tutur Cak Heri.

Ia mencontohkan, hal sederhana seperti kedisiplinan di sekolah atau antrean di tempat umum mencerminkan nilai perjuangan dan karakter pejuang yang kuat.

Contoh lainnya, seperti di Jepang. Di sana, Perdana Menteri hingga presiden perusahaan tetap mau mengantre, supaya karakter disiplin tetap terjaga. Karenanya, menurutnya hal itulah yang justru harus ditekankan oleh pimpinan Provinsi Jatim dalam membangun warganya.

Sementara ketika ditanya tentang relevansi semboyan Jer Basuki Mawa Beya di zaman sekarang, Cak Heri justru menilai maknanya semakin penting.

“Kalau saya sungguh sangat relevan karena justru selama ini Indonesia itu dalam membangun manusianya berkurang, lebih ngomong pembangunan fisik. Jer Basuki Mawa Beya itu intinya sebetulnya membangun manusia. Beya itu bukan biaya material, tetapi mental — bagaimana orang rela berkorban, berjuang keras, disiplin,” jelasnya.

Menurutnya, ketika bangsa tidak lagi menekankan pembangunan manusia, maka penyimpangan moral dan korupsi bisa terjadi. Dia kembali mencontohkan kasus yang baru-baru ini mengguncang Jatim, tak lain adalah penyimpangan dana hibah.

Cak Heri menyebut, kasus itu terjadi karena manusianya tidak mempunyai beya mental yang bagus. Untuk itulah pembangunan karakter rakyat ditegaskannya lagi, jadi hal yang harus diutamakan.

Lebih lanjut, Cak Heri juga menyoroti ciri khas masyarakat Jatim yang harus terus dijaga, terutama sifat religius, jujur, terbuka, egaliter, dan pemberani.

“Yang paling harus dijaga itu sifat religiusnya. Tokoh-tokoh seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab itu menjaga spiritualitas dan semangat perjuangan. Orang Jawa Timur itu terkenal jujur, terbuka, blak-blakan tapi hangat. Egaliter dan punya karakter pejuang yang gigih,” ujarnya.

Sebagai pesan penutup di momentum Hari Jadi Provinsi Jawa Timur ke-80 ini, Cak Heri berharap pemerintah provinsi menempatkan pembangunan karakter manusia sebagai prioritas utama.

“Menurut saya bagi pemerintahan Jawa Timur terutama dalam membangun Jawa Timur ke depan lebih mengutamakan membangun karakter manusianya, karena itu menjadi dasar agar Jawa Timur lebih maju. Dan dalam menjaga seni budaya, Jawa Timur ini punya kekayaan luar biasa yang harus ditumbuhkan dan dijaga keberagamannya,” pungkasnya. (bil/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Gedung Ex-Bioskop Jalan Mayjen Sungkono

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Surabaya
Minggu, 12 Oktober 2025
34o
Kurs