
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2025 (PP 24/2025) yang memberikan pembebasan bersyarat bagi saksi pelaku atau justice collaborator.
Kebijakan ini diteken Prabowo Subianto Presiden pada 21 Juni lalu, sebagai bentuk penghargaan kepada pelaku tindak pidana yang bekerja sama dengan penegak hukum dalam mengungkap kejahatan serius.
Dari kacamata pakar hukum, PP ini dinilai sebagai bagian dari upaya Pemerintah menyelaraskan regulasi yang bisa membantu penegak hukum mengungkap kasus berat.
Menurut Riza Alfianto Kurniawan, Pakar Hukum Pidana Universitas Airlangga (Unair), justice collaborator umumnya muncul dalam tindak pidana berat seperti korupsi atau kejahatan terorganisir. Yang mana, keterangan dari pelaku sangat penting untuk mengungkap jaringan kejahatan.
“Jaringan itu kan tidak bisa diungkap kalau tidak ada dari pelaku sendiri yang memberikan keterangan. Nah bagian dari kesepakatan atau komitmen juga reward bagi pelaku-pelaku yang bekerjasama itu, mereka mungkin akan mendapatkan kompensasi berupa sanksi pidananya mungkin berbeda. Bukan saya bilang ringan ya, tapi mungkin berbeda dengan pelaku lainnya yang tidak boleh sama,” kata Riza dalam program Wawasan Suara Surabaya, Senin (23/6/2025).
Ia menambahkan bahwa pembebasan bersyarat sebagai bentuk kompensasi negara kepada pelaku yang kooperatif adalah sah secara hukum. “Saya rasa pemberian pembebasan bersyarat itu cukup kuat juga, karena ini juga bagian dari bargaining kepada justice collaborator.”
Namun, pakar Hukum Pidana Unair itu juga menggarisbawahi bahwa standar kualifikasi harus ketat dan terbuka, agar status justice collaborator tidak disalahgunakan.
“Saya harap di PP ini nanti akan ada syarat atau kualifikasi yang dapat dikualifikasi sebagai pelaku yang bekerjasama atau justice collaborator. Dengan adanya PP ini kan jadi semakin jelas. Jadi tidak ada upaya-upaya penyalahgunaan terkait dengan memberikan status justice collaborator,” ujarnya.
Hal itu disampaikannya menyoroti potensi munculnya justice collaborator palsu, yaitu pelaku kejahatan yang hanya mengaku bekerja sama untuk mendapat pengurangan hukuman, tanpa kontribusi nyata.
“Ya pasti ada risiko penyalahgunaan seperti itu. Tapi kan status justice collaborator itu juga bisa dicabut. Kalau ternyata dia tidak memberikan data apa pun dan juga tidak ada kontribusi yang nyata, maka status itu bisa dibatalkan,” tegasnya.
Riza menambahkan bahwa mekanisme pencabutan merupakan kunci pengamanan sistem. Namun, ia juga menilai perlu adanya kontrol publik, terutama melalui proses peradilan terbuka dan akuntabilitas aparat penegak hukum.
“Ruang kontrolnya berkait dengan justice collaborator lewat hakim. Hakim yang akan mengontrol kelayakan atau tidaknya status tersebut. Itu harus didasarkan pada integritas semua aparat penegak hukum yaitu penyidik, penuntut umum, dan lembaga peradilan,” jelasnya.
Dalam praktiknya, menurut Riza selama ini pengajuan status justice collaborator biasa dilakukan oleh penyidik. Namun Riza menilai bahwa peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebetulnya tak kalah penting untuk memverifikasi dan menjaga kredibilitas proses.
“Kalau dengan peran LPSK, pendaftarannya diverifikasi oleh lembaga yang independen, itu akan sangat memberdayakan LPSK untuk ikut menilai apakah benar pelaku itu layak disebut justice collaborator,” ujarnya.
Terkait dengan rasa keadilan publik, Riza mengingatkan bahwa tidak semua pelaku kejahatan berat layak diberi kompensasi pembebasan bersyarat. Ia menyebut korupsi, pencucian uang, hingga pelanggaran HAM sebagai jenis kejahatan luar biasa, perlu perlakuan ekstra hati-hati.
Karenanya, dia menilai kedepannya, keberhasilan PP ini akan sangat tergantung pada penerapan yang adil, transparan, dan bebas intervensi politik.
“Untuk pelaku-pelaku tindak pidana berat, seperti korupsi dengan dampak yang besar, mungkin negara perlu mempertimbangkan lebih dalam. Negara bisa membatasi hak pembebasan bersyarat dengan syarat yang lebih ketat agar tidak disalahgunakan,” tandasnya. (bil/iss)