
Treng… treng… treng… treng… treng…
Suara alarm itu memecah keheningan malam Jumat (29/8/2025) di Kelurahan Nyamplungan, Kecamatan Pabean Cantian, Surabaya. Dalam hitungan menit, ratusan warga bergegas keluar rumah, berlari menuju balai RW 5, titik kumpul yang sudah disepakati bersama bila keadaan darurat datang.
Surabaya malam itu tengah bergejolak. Aksi unjuk rasa di depan Gedung Negara Grahadi berubah ricuh, dan kabar tentang perusuh yang membakar serta merusak pos polisi beredar cepat melalui grup WhatsApp kampung. Dari layar ponsel, keresahan menjalar menjadi kepanikan.
Warga yang memantau aksi ini sejak sore mendapat kabar bahwa massa mulai mendekat ke Jalan Dukuh dan sekitarnya. Mereka langsung siaga. Tanpa menempuh diskusi yang biasa mereka lakukan, warga spontan membentuk barisan di ujung gang, sekitar dua ratus meter dari balai RW.
Sebagian membawa tongkat, sapu, atau alat apa pun yang bisa digenggam. Ketika suara motor dan sorak-sorai massa mulai terdengar mendekat, seluruh warga mengangkat alat di tangannya, bersiap menghadang.
Begitu massa perusuh muncul di persimpangan, barisan warga tadi serentak bergerak maju. Keberanian itu cukup untuk memukul mundur rombongan yang mencoba masuk.
“Ada pos polisi (dekat) Pasar Atom dan pos polisi Pegirian. (Massa) mau belok ke sini (masuk wilayah Jalan Dukuh) enggak bisa karena banyak warga yang nongkrong di perempatan (Jalan Kembang Jepun),” tutur Andi Usman Ketua RW 5 Nyamplungan menceritakan situasi malam itu.
Malam itu, pos polisi di dekat RW 5 tetap berdiri utuh, selamat dari amukan massa. Dan bagi warga Nyamplungan, bunyi alarm bukan hanya tanda bahaya, melainkan juga panggilan untuk menjaga rumah mereka bersama-sama.
Keamanan yang Tumbuh dari Kepercayaan
Kekompakan warga menjaga wilayah mereka bukan hal baru. Sistem PAM Swakarsa, pengamanan mandiri yang dibangun dan dijalankan warga sejak lima tahun lalu, bukan sekadar formalitas keamanan. Di sini, ia hidup, tumbuh, dan dirawat bersama.
Bukan hanya ketika bahaya datang, tapi setiap hari, demi memastikan kampung ini selalu aman dan nyaman bagi semua yang tinggal di dalamnya.
Kamis (9/10/2025) malam, tim suarasurabaya.net menyaksikan langsung bagaimana ritme ronda itu berjalan. Seusai Isya, satu per satu warga datang. Ada yang datang karena namanya tertera di jadwal piket, ada pula yang datang atas inisiatif sendiri.
Balai RW 5 menjadi pusat segala aktivitas itu. Ruangan sekitar 8×10 meter ini bukan sekadar pos jaga. Ia seperti rumah kedua bagi warga. Ada lumbung pangan untuk menampung dan menyalurkan bantuan sembako, dapur mini tempat memasak kopi dan mi instan untuk teman berjaga hingga dini hari, peralatan pemadam api sederhana lengkap dengan APAR dan seragam, serta dinding yang dipenuhi papan informasi kegiatan dan catatan program kampung.
Di dua meja kayu dalam ruangan, percakapan malam sering berlangsung. Soal keamanan, rencana gotong royong, hingga kabar ringan keluarga. Tak jarang, aparat dari kepolisian dan Satpol PP setempat bergabung usai patroli wilayah.
“Iya (balai RW 5 selalu dijaga), 24 jam. Selalu seperti ini. Ini sedikit, biasanya plus ibu-ibu, kalau ngantuk pulang,” ujar Usman.
Bagi warga RW 5 Nyamplungan, menjaga kampung bukan hal baru. Mereka sudah terbiasa menghadapi berbagai situasi genting. Pernah, kata Usman, mereka berhasil mencegah bentrokan antar pesilat di kawasan Kembang Jepun, wilayah pertokoan yang sibuk di siang hari, tapi sunyi di malam.
“Yang lapor yang jaga, langsung ditangani sama polisi, Satpol PP setempat,” kenangnya.
Kawasan ini juga dulu dikenal rawan jambret. Dulu tiap sore sekitar pukul empat, ketika toko-toko tutup, pelaku sudah mengincar korban, yaitu para pegawai atau pemilik toko yang membawa uang hasil jualan.
“Karena di sini (kawasan) niaga (pertokoan atau usaha). Kalau orang beli mesin, modusnya beli mesin dimuat di becak, alasannya ngambil uang di ATM, becaknya jalan (kabur) atau sore hari, pada saat toko-toko tutup, uang hasil niaganya itu ditaruh di tas, (langsung) dijambret,” paparnya.
Kini, berkat kekompakan warga lewat program Kampung Tangguh yang berkembang menjadi Kampung Pancasila, situasi berubah. Warga aktif melapor, bekerja sama dengan polisi, dan berjaga di titik-titik rawan. Hasilnya, sudah tiga tahun tak ada lagi laporan penjambretan.
Masalah lain yang dulu kerap muncul adalah kebakaran Kelenteng Hong Tiek Hian, yang berdiri tepat di seberang balai RW. Setiap tahun, api lilin yang tersenggol binatang kerap memicu kebakaran kecil. Namun karena menyalakan pelita adalah bagian penting dari kepercayaan umat, memadamkannya bukan solusi. Maka warga memilih cara lain, yaitu membangun sistem peringatan dini.
Mereka memasang tombol alarm merah di dinding dekat pintu masuk balai RW. Bunyi alarm memiliki kode, satu sampai lima kali bunyi, dengan arti yang sudah disosialisasikan kepada warga.
Sejak itu, angka kebakaran menurun drastis. Dalam tiga tahun terakhir, hanya satu kejadian, dan berhasil dipadamkan sendiri menggunakan APAR dari balai RW.
Begitu pula kasus pencurian kendaraan bermotor yang dulu sering terjadi, sekarang sudah teratasi. Balai RW yang tak pernah kosong, portal di ujung gang yang dibuat swadaya, serta jadwal ronda yang disiplin, menjadikan kampung ini bukan lagi sasaran empuk maling.
Di Nyamplungan, rasa aman tidak datang dari pagar tinggi atau kamera pengintai. Ia tumbuh dari rasa saling percaya dan kesediaan untuk berjaga bersama.
Ketika Toleransi Tak Perlu Diajarkan, tapi Dijalani
Napas kehidupan RW 5 mengalir dengan ritme yang rukun. Warga dari beragam latar belakang dengan mayoritas Tionghoa sebanyak 60 persen, disusul Jawa dan Madura, hidup berdampingan tanpa sekat. Semua bernaung di bawah satu nilai yang sama, gotong royong dan toleransi.
Tiga rumah ibadah berdiri berdampingan di kawasan ini; Kelenteng Hong Tiek Hian, Gereja GKA Gloria Samudra, dan Masjid Nurul Falah. Bukan hanya simbol keberagaman, tapi juga bukti nyata harmoni yang terjaga puluhan tahun. Warga saling memastikan kegiatan ibadah berjalan khidmat tanpa gangguan.
“Kalau kami (Islam) ada salat Jumat, mereka (orang Tionghoa) sembahyangan dua minggu sekali, yang jaga parkir orang-orang pribumi. Empat belas tahun saya di sini, tidak pernah ada konflik antaragama,” kata Usman.
Nilai saling menghormati itu tidak berhenti dalam ibadah. Ia tumbuh menjadi solidaritas sosial yang konkret. Di RW 5, ada 27 keluarga miskin yang tidak dibiarkan bergantung pada bantuan pemerintah. Mereka dijaga bersama, kebutuhan hidupnya ditanggung gotong royong.
“Ada iuran kampung untuk bayar kebersihan, hansip, bayar listrik balai RW, dan lain-lain. Masih ada sisanya untuk dukung berkala 27 keluarga miskin,” imbuhnya.
Setiap pengurus RW berupaya memastikan keluarga miskin mendapat akses ke bantuan pemerintah, tapi semangat gotong royong tetap jadi penopang utama. Bahkan, kelenteng rutin menyisihkan beras dua kali setahun untuk disalurkan ke keluarga tidak mampu.
Tak hanya itu, kebutuhan mendesak keluarga miskin dibahas bersama dan diselesaikan lewat iuran kampung. Mulai bantuan gizi balita, pengobatan TBC, hingga urusan pemakaman.
“Contoh keluarga miskin bapaknya meninggal. Kami yang support pemakaman, kami yang membeli kain kafan,” sambungnya.
Namun bagi warga RW 5, membantu bukan sekadar memberi. Mereka ingin memutus mata rantai kemiskinan. Anak-anak dari keluarga miskin didorong untuk menyelesaikan pendidikan dan mendapatkan pekerjaan layak. Secara perlahan, jumlah keluarga miskin berkurang hingga kini tersisa 16.
“Jadi saya tidak mau warga miskin kami itu selalu mengandalkan. Karena ini kami berikan dia peluang untuk maju. Tapi tetap kami pantau. (Anak muda pengangguran) kami koordinasi ke kelurahan, ada Padat Karya atau lowongan kerja dari perusahaan yang kami cari informasinya lalu kami sosialisasikan,” ujarnya.
Tiga sektor utama Kampung Pancasila—kemasyarakatan, ekonomi, dan sosial budaya—terlihat jelas dari keseharian warga RW 5. Satu sektor lain, lingkungan, mereka wujudkan lewat pengelolaan sampah, urban farming, pemberantasan sarang nyamuk, hingga kampanye anti buang air besar sembarangan.
Dari semua itu, PAM Swakarsa menjadi program unggulan kampung. Sistem keamanan swakarsa ini bahkan mulai menarik perhatian Pemerintah Kota Surabaya.
“Dari 100 lebih mengerucut 80 mengerucut 20. Kalau tidak salah info dari teman-teman Satpol PP Linmas Kota itu, (kampung) ini masuk 5 besar. Tinggal tunggu tim penilai termasuk Pemkot Surabaya datang ke sini. Kemarin sudah diambil video,” tutupnya.
RW 5 Kelurahan Nyamplungan hanyalah satu dari puluhan RW di Kecamatan Pabean Cantian yang telah menerapkan Kampung Pancasila. Wilayah Surabaya Utara dikenal dengan mobilitas penduduk yang tinggi, juga potensi konflik sosial yang rawan.
Muhammad Januar Rizal Camat Pabean Cantian, menjelaskan bahwa wilayah Kelurahan Tanjung Perak menjadi yang paling luas sekaligus paling berisiko.
“Paling tinggi Kelurahan Tanjung Perak,” katanya.
Dari total 50 RW di kecamatan itu, 27 sudah menerapkan konsep Kampung Pancasila. Sisanya, 23 RW, masih dalam tahap sosialisasi dan ditargetkan selesai pada akhir Desember 2025.
Gotong Royong, Jalan Menuju Kemandirian
Pagi baru saja menyapa langit Tanjung Perak. Jam menunjukkan pukul lima, tapi gang-gang sempit di RW 4 Kelurahan Tanjung Perak sudah ramai. Suara langkah kaki dan tawa ibu-ibu berdaster memecah sunyi. Di sela aroma sayur mayur dan kue basah yang memenuhi udara, jalan selebar dua meter itu menjelma menjadi pasar tumpah—tempat warga saling menyapa, saling memberi, dan saling menguatkan.
Jumat (10/10/2025) pagi itu, suasana terasa istimewa. Di gang RT 7, puluhan perempuan sudah bersiap menyambut rutinitas yang mereka tunggu setiap pekan: pembagian sembako gratis. Sementara di RT 3, sekelompok ibu rumah tangga dan pekerja sibuk menyiapkan sarapan swadaya untuk dibagikan ke warga. Semua dilakukan sejak subuh, semua untuk sesama.
Di rumah Wahyudi, Ketua RT 7, aktivitas sudah berlangsung sejak malam sebelumnya. Dua meja panjang dan satu meja bundar di ruang tamunya penuh dengan kantong plastik berisi sayur, tahu, mie, dan beras sekiloan.
“Ini sedikit, biasanya lebih banyak. Ada minyak goreng, telur, bahkan kadang detergen,” ujarnya sambil tersenyum.
Istrinya turut membantu menyiapkan, dibantu Nanik, seorang Kader Surabaya Hebat yang datang pagi-pagi untuk merampungkan pembungkusan. Tepat pukul enam, semua paket siap. Namun, pembagian baru dimulai setengah jam kemudian, waktu yang sudah menjadi tradisi tetap sejak program Jumat Berbagi berjalan lima tahun lalu.
Begitu jarum jam menunjuk pukul 06.30 WIB, meja-meja itu digeser ke depan rumah, menutup sebagian badan gang. Puluhan ibu-ibu berdaster yang sebelumnya senam ringan, kini berdiri rapi dalam antrean.
“Assalamualaikum Ibu-Ibu, kita mulai ya pagi ini bagi sembako, silakan ambil secukupnya dengan bergantian,” seru Wahyudi dari balik meja.
Tak ada dorongan, tak ada berebut. Semua tertib. Mereka bergantian mengambil tiga kemasan; satu sayuran, satu bumbu penyedap, dan satu pilihan antara tahu, beras, atau mie.
“Enggak mesti jumlahnya, soalnya kan orang yang naruh (menyumbang sembako) juga enggak tentu. Kami tidak menerima uang, jadi langsung berupa barang,” kata Wahyudi.
Hanya lima menit berselang, pukul 06.35 WIB, semua sembako ludes tanpa sisa—seperti Jumat-Jumat sebelumnya. Kini, peminatnya datang lintas RT, bahkan lintas kelurahan. Tidak ada pencatatan asal penerima, tidak ada pertanyaan. Satu prinsip yang selalu dijaga, “Taruh seikhlasnya, ambil secukupnya.”
“Kami enggak batasin orang (yang menyumbang atau yang mengambil dari mana asalnya),” lanjut Wahyudi.
Program ini berawal dari hal sederhana, yaitu kebiasaan beberapa warga menanam sayur hidroponik. Karena hasil panen tak laku dijual, mereka sepakat membaginya ke warga lain. Dari situ muncul ide untuk membuat wadah berbagi yang lebih teratur.
“Mau berbuat kebaikan ya harus ada wadahnya, harus ada kesempatannya. Kami membuat kesempatan ini bagi mereka yang mau berbagi,” ujar Wahyudi.
Begitu acara usai, sebagian ibu-ibu bergegas melanjutkan rutinitas; mengantar anak sekolah, memasak, atau bekerja. Sementara lainnya berjalan ke RT 3, tempat sarapan gratis sudah siap disajikan. Sedikitnya 50 porsi masakan rumahan terhidang di meja, nasi dengan lauk berganti setiap minggu. Tak ada iuran, tak ada daftar nama, semua murni dari kerelaan hati.
Bagi warga RW 4, berbagi bukan sekadar tradisi, tapi semangat yang hidup dalam keseharian. Seperti yang dialami Hariyono, pria 77 tahun yang tinggal sendirian di rumah langganan banjir.
Selama tiga tahun, tiap hujan datang, air setinggi lutut menggenangi rumahnya. Hingga akhirnya, warga bergotong royong memperbaiki atap bocor dengan dana sukarela Rp11 juta. Kini, rumah itu bahkan sedang direnovasi oleh Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman serta Pertanahan (DPRKP) Kota Surabaya, berkat perjuangan warga pula.
“Saya enggak nyangka, Allah yang membalas. Saya kalau ingat setiap hujan, banjirnya luar biasa. Ruang tamu ke dapur seakan harus pakai perahu karet,” tutur Hariyono saat ditemui suarasurabaya.net. Matanya berkaca-kaca.
Selain berbagi sembako dan makanan, RW 4 juga rutin menggelar bazar UMKM dan pemeriksaan kesehatan gratis setiap bulan. Program itu dirancang untuk membantu pelaku usaha kecil sekaligus memperkuat ekonomi kampung.
“Kalau warga makmur kan berarti tidak ada masalah, ya,” ucap Purnomo Ketua RW 4. Menurutnya, kuatnya gotong royong di kampungnya hanya berangkat dari niat sederhana, ingin membuat semua warganya makmur, lalu bisa hidup berdampingan dengan damai.
Data Kementerian Sosial mencatat, masih ada 15 jiwa dari total 2.716 penduduk atau 929 kepala keluarga yang tergolong miskin di RW 4. Namun di tengah semangat kebersamaan dan gotong royong yang terus hidup, angka itu bukan sekadar statistik, melainkan tantangan yang perlahan mereka ubah menjadi kisah keberdayaan.
Menabung Jelantah dan Emas dari Sampah
Suryati, salah satu dari 80 nasabah Bank Sampah Wani RT 3 RW 4 Kelurahan Tanjung Perak Kota Surabaya yang menabung emas lewat pengumpulan sampah rumah tangga termasuk botol plastic, Jumat (10/10/2025) pagi. Foto: Meilita Elaine suarasurabaya.net
Bagi warga RW 4 Kelurahan Tanjung Perak, kemiskinan bukan alasan untuk menyerah. Masih adanya belasan keluarga miskin di kampung itu bukan hambatan, tapi tantangan yang mereka tangani bersama. Salah satu jawabannya datang dari hal yang kerap dianggap sepele: sampah.
Di sela kegiatan Jumat Berkah, program berbagi makanan gratis dari warga untuk warga di RT 3, seorang lansia bernama Suryati, 65 tahun, tampak sibuk menata tumpukan botol plastik di halaman rumahnya. Di bawah terik pagi, karung-karung berisi sampah itu ia ikat satu per satu, siap disetor ke Bank Sampah Wani, lembaga pengelolaan sampah buatan warga sendiri.
“Saya sudah ngumpul banyak, tiga karung. Nanti saya setor kalau bank sampah buka,” ujarnya, sambil merapikan ikatan di ujung karung plastik.
Bagi Suryati, mengepul sampah bukan sekadar rutinitas kebersihan, tapi bentuk nyata dari harapan. Dari sampah-sampah itu, ia bisa memiliki tabungan. Bukan uang, tapi emas digital. Sampah yang dikumpulkan warga akan dikonversi menjadi saldo di Pegadaian Digital, memungkinkan mereka menabung tanpa uang tunai.
Kini, sudah ada 80 warga yang menjadi nasabah Bank Sampah Wani. Semuanya bisa menabung cukup dengan memilah dan menyetorkan sampah rumah tangga.
Ide itu lahir dari Ali Imron, Ketua RT 3, yang awalnya hanya resah melihat tumpukan sampah yang seolah tak pernah habis. “Karena sampah itu juga sangat berbahaya. Kasihan juga yang bawa (petugas) sampah harus bawa terlalu berat,” katanya.
Ali lalu memanfaatkan peluang dari Bank Sampah Induk Surabaya yang menampung pembelian sampah bekas. Ia menggandeng warga, terutama istri para pengurus RT, untuk mengelola sistem tabungan.
Mereka menjadi teller dan customer service bank sampah, mencatat setiap transaksi warga di buku manual sebelum akhirnya bermitra dengan Pegadaian untuk sistem digitalisasi tabungan emas.
“Namanya si A masuk ke rekening ini, nominalnya sekian. Sewaktu-waktu bisa diambil,” jelasnya.
Keberhasilan bank sampah memantik inovasi lain. Kini, warga juga mengumpulkan minyak jelantah untuk disalurkan ke pihak ketiga. Sebagai gantinya, mereka menerima minyak goreng baru atau paket sembako yang dibeli dari hasil penjualan sampah.
“Kami juga kalau mau buka operasional bank sampah, melibatkan UMKM warga untuk jualan,” tutur Ali.
Ali Imron Ketua RT 3 RW 4 Kelurahan Tanjung Perak Kota Surabaya saat menunjukkan stiker Program Rumah Tanpa Asap Rokok (Rutan Arok) di rumahnya, bersebelahan dengan Lorong tempat parkir gerobak sampah sekaligus disulap sebagai smooking area yang tidak nyaman, demi menerapkan kampung sehat tanpa asap rokok, Jumat (10/10/2025) pagi. Foto: Meilita Elaine suarasurabaya.net
Gerakan lingkungan itu meluas ke bidang lain. Di RT 3, warga menerapkan program kampung bebas asap rokok, demi menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat. Sebuah area kecil selebar satu meter disulap menjadi smoking area di celah gang, tempat parkir gerobak sampah yang sengaja dibuat tidak nyaman.
“Sampai yang ketahuan, kami punya Satgas Rutan Arok (Satuan Tugas Rumah Tanpa Asap Rokok). Dendanya, mereka harus ikut pemilahan sampah,” ujarnya.
Kesadaran menjaga kesehatan menjadi tanggung jawab bersama. Warga bekerja sama dengan pengurus masjid setempat untuk membuka pemeriksaan kesehatan gratis bagi lansia setiap pekan. Sementara di sisi lain, sistem keamanan juga tetap dijaga dengan ronda malam hingga pagi hari, memastikan kampung mereka tetap aman dari tindak kejahatan.
Menghidupkan Pancasila ke Setiap Sudut Surabaya
Gotong royong dan tenggang rasa yang tumbuh di dua kampung itu diharapkan bisa menular ke wilayah lain di Surabaya. Irvan Widyanto, Ketua Satuan Tugas (Kasatgas) Kampung Pancasila, yang kini berada di garis depan untuk memastikan cita-cita itu tercapai. Ia tengah berkeliling dari satu RW ke RW lain, menggelar sosialisasi dan menanamkan semangat kebersamaan yang menjadi inti dari program tersebut.
“Sejak diluncurkan oleh Mas Wali (Eri Cahyadi Wali Kota Surabaya) pada 11 Agustus, sampai sekarang ini kami sedang melaksanakan sosialisasi ke seluruh RW yang ada di Kota Surabaya dengan target tahun ini sebanyak 786 RW dari total 1.360 RW,” paparnya.
Irvan menegaskan, Kampung Pancasila bukan program baru. Ia justru menjadi bentuk penyempurnaan dari berbagai kegiatan sosial yang sudah berjalan lama di tingkat warga. Mulai dari kerja bakti, posyandu, hingga kegiatan keagamaan. Bedanya, kini semua aktivitas itu dijalankan dengan satu napas yang sama, gotong royong dalam keberagaman.
Namun ia juga sadar, semangat saja tidak cukup. Setiap RW diminta menilai dirinya sendiri, sejauh mana nilai-nilai Pancasila telah hidup di lingkungannya. “Menyangkut empat sektor, yaitu sektor lingkungan, kemasyarakatan, ekonomi, dan sosial budaya,” jelasnya.
Dari hasil penilaian itu, pemerintah kota dapat memetakan wilayah yang masih tergolong pemula, berkembang, atau sudah maju dalam menerapkan prinsip Kampung Pancasila. Hasil evaluasi tersebut menjadi bahan tindak lanjut untuk perbaikan program di lapangan.
Untuk memperkuat langkah itu, sebanyak 6.600 ASN diterjunkan sebagai pendamping di setiap RT dan RW. “Tugasnya melihat laporan RT/RW lalu mencocokkan dengan kondisi yang ada di lapangan, kemudian memberikan rekomendasi terkait sektor ini hingga ke dinas,” tandas Irvan.
Langkah itu sejalan dengan penegasan Eri Cahyadi, yang sejak awal menekankan bahwa Pancasila tidak boleh berhenti di tataran lisan. Ia ingin nilai-nilai itu benar-benar hidup melalui tindakan nyata.
“Tidak perlu saling menghina, tapi bagaimana semua agama ini saling menguatkan, baik dari sisi ekonomi maupun sosial, sehingga tidak lagi Surabaya ini dengan agama akhirnya menimbulkan perpecahan,” ujarnya saat peluncuran Kampung Pancasila, Senin (11/8/2025).
Program ini memiliki dasar hukum yang kuat. Pembentukannya tertuang dalam Keputusan Wali Kota Surabaya Nomor 100.3.3.3/142/436.1.2/2025 tentang Satgas Kampung Pancasila yang ditetapkan pada 2 Juli 2025. Satgas ini merupakan kelanjutan dari program Kampung Madani, yang lebih dulu diterapkan di seluruh RW untuk mendorong pemberdayaan wilayah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kampung Pancasila, Wajah Ideologi Surabaya
Di tengah hiruk-pikuk Surabaya yang terus tumbuh, nilai-nilai Pancasila menemukan rumahnya di kampung-kampung. Dari gang sempit Nyamplungan hingga lorong padat Tanjung Perak, semangat saling menolong, menghargai, dan bermusyawarah bukan sekadar tulisan di dinding balai RW, tapi napas yang menjaga kehidupan warganya.
Program Kampung Pancasila yang digagas Pemerintah Kota Surabaya menjadi bentuk nyata bagaimana ideologi bangsa dihidupkan di tingkat paling kecil. Sebuah inisiatif yang tak hanya mengingatkan, tapi menantang warganya untuk menjalankan lima sila dalam tindakan sehari-hari.
Apresiasi datang dari Arif Fathoni Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya. Ia menilai, keberhasilan Kampung Pancasila bukan hanya soal semangat warga, tapi juga tentang tanggung jawab moral para lurah dan camat untuk memastikan nilai-nilai itu benar-benar dijalankan.
“Jadi sebenarnya kalau Kampung Pancasila ini bisa berjalan dengan baik, maka kehidupan sosial masyarakat Surabaya itu akan mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri. Sebenarnya Pancasila ini kan ideologi pemersatu masyarakat Indonesia yang sangat beragam dan multikultural ini,” tuturnya.
Menurutnya, kampung yang berhasil menerapkan Pancasila bisa dilihat dari bagaimana warganya menyelesaikan masalah dengan musyawarah, tanpa konflik atau kesenjangan sosial. Tidak ada lagi jurang antara warga kaya dan miskin, tidak pula pertentangan yang mencederai makna Persatuan Indonesia. Bahkan, penyelesaian persoalan kenakalan remaja seperti tawuran pun semestinya berangkat dari semangat itu.
Kampung Pancasila mungkin dimulai dari kebijakan pemerintah kota, tapi kehidupannya lahir dari warga. Dari cara mereka menyapa, berbagi, dan menjaga sesamanya. Karena di Surabaya, Pancasila bukan sekadar lima sila dalam naskah, melainkan denyut kehidupan yang nyata di antara rumah-rumah sederhana dan jalan sempit yang tak pernah sepi. (lta/ham/iss)