
Kasus perundungan atau bullying yang melibatkan murid SMP kembali terjadi. Kali ini di salah satu sekolah negeri di Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Menanggapi fenomena tersebut, Warsono Ketua Dewan Pendidikan Jatim menegaskan, anak-anak punya hak untuk dilindungi dari perundungan, baik fisik maupun verbal.
“Oleh karena itu, fenomena-fenomena yang dulu sudah menjadi kebiasaan masyarakat (olok-olok), kemudian sekarang dilarang undang-undang,” katanya saat dihubungi suarasurabaya.net pada Senin (21/7/2205).
Warsono mengatakan, hal-hal yang zaman dulu terjadi, seperti memberi julukan pada anak-anak, saat ini sudah masuk dalam bullying kategori verbal.
Ia menekankan agar masyarakat, termasuk mereka yang berada di lingkungan sekolah, harus paham kondisi tersebut dan tidak menjadikan sebagai budaya.
“Sehingga, sesuatu yang dulu dianggap sebagai kebiasaan dan tidak melanggar hukum, dengan adanya undang-undang dan perkembangan pemikiran manusia, kemudian itu dianggap sebagai bentuk pelanggaran,” ucapnya.
Untuk mengatasi bullying, katanya, harus dimulai dari penanaman cara berpikir dan memahami pengetahuan. Sehingga tindakan di lingkungan bisa berlandaskan pengetahuan.
“Di sinilah sebenarnya salah satu fungsi pendidikan. Pendidikan itu adalah cara bagaimana dan apa yang harus dilakukan untuk mengubah tindakan agar itu tadi (bullying) tidak terjadi,” ucapnya.
Namun, upaya tersebut juga harus dibarengi dengan komitmen dan sinergi dari berbagai pihak, yakni bukan hanya sekolah tetapi juga keluarga dan masyarakat.
“Di sinilah kemudian pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, kepentingan bersama, dan kewajiban bersama. Jadi kalau dibebankan ke sekolah saja itu tentu sekolah agak berat, karena sebetulnya sekolah itu lebih banyak berorientasi pada pengembangan intelektual. Ya ada juga pengembangan moral dan karakter, tapi tanggung jawab utamanya ada di lingkungan keluarga dan masyarakat,” jelasnya.
Sinergi tersebut penting, lanjut dia, karena proses belajar anak menurut Ki Hajar Dewantara terdiri dari 3N (Nontoni, Niteni, dan Niru). Sehingga, harus ada contoh dan pembelajaran yang baik untuk menghasilkan perilaku yang baik di masyarakat.
“Sekali lagi, pendidikan itu bukan hanya terjadi di sekolah tapi juga di keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, keluarga maupun masyarakat harus melakukan transformasi itu,” tandasnya.
Seperti diketahui, kasus bullying di salah satu SMP Negeri di Blitar itu, berawal dari olok-olok kemudian menjadi pemukulan. Perundungan itu terjadi di area belakang kamar mandi sekolah saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). (ris/saf/ipg)