Senin, 6 Oktober 2025

Keluarga Rafi Dukung Penyelidikan Runtuhnya Musala Ponpes Al Khoziny

Laporan oleh Meilita Elaine
Bagikan
Rafi Catur Okta Mulya (17 tahun) santri Pondok Pesantren Al Khoziny meninggal saat sujud salat ashar tertimpa reruntuhan musala ambruk, Senin (29/9/2025). Foto: Meilita Elaine suarasurabaya.net

Novita Tri Endah (26 tahun) warga Sawahan, Surabaya ikhlas melepas adiknya, Rafi Catur Okta Mulya (17 tahun), santri Pondok Pesantren Al Khoziny Sidoarjo yang meninggal tertimpa reruntuhan musala.

Namun dia mendukung polisi melakukan penyelidikan untuk mengungkap penyebab kejadian runtuhnya bangunan musala yang merenggut nyawa puluhan santri itu.

“Kalau dibilang iya, bisa sih seperti itu (kelalaian pesantren) ya. Karena lihat sendiri seperti pilarnya (bangunan musala) itu loh seperti tidak kuat juga,” katanya saat ditemui suarasurabaya.net di rumah duka, Senin (6/10/2025) sore.

Novita memastikan keluarganya tak akan mengambil langkah tuntutan, hanya karena tak ingin mengganggu ketenangan adik tercinta yang telah pulang ke pangkuan-Nya.

“Kalau keluarga dan bapak sih sudah ikhlas. Mungkin kembali lagi, ini takdir adik saya seperti ini. Kami menuntut pun percuma juga, menuntut pun apa yang didapat. Kan kasihan adik saya. Takutnya dia tidak tenang atau apa,” tuturnya.

Tapi, jauh di lubuk hatinya, Novita dan keluarga ingin tahu kebenaran informasi soal penyebab runtuhnya musala tempat sujud terakhir Rafi itu.

“Jadi saya dan keluarga ikhlas. Saya mendoakan saja mungkin jangan sampai terjadi seperti itu lagi. Bangunannya tidak asal-asalan atau seperti apa,” ungkapnya.

Penyelidikan polisi jadi harapan terakhirnya untuk meluruskan kesimpang-siuran informasi soal penyebab tragedi.

Novita juga berharap Ponpes Al Khoziny, sebagai salah satu yang tertua, bisa memperbaiki bangunan, agar tragedi ini tidak terulang di kemudian hari.

“Jangan sampai ada seperti ini lagi,” ucapnya.

Meski tak bisa dimungkiri, kejadian kemarin itu menyisakan trauma mendalam baginya dan keluarga.

Rafi adalah orang pertama dalam keluarganya yang ingin menempuh pendidikan di pondok pesantren.

Namun pengalaman pertama itu berakhir dengan tragedi yang merenggut nyawanya hanya dalam waktu dua bulan setelah Rafi mondok.

“Trauma banget,” ungkapnya.

Novita tidak tahu sampai kapan traumanya terobati. Sampai waktu yang belum ditentukan, dia hanya ingin dua anaknya kelak bersekolah dengan muatan pendidikan Islam lebih banyak, tapi tidak di pondok pesantren.

“Kalau saya sendiri ya, trauma dengan kejadian adik,” tuturnya.

Novita bercerita, hingga kini kronologi kejadian runtuhnya musala Ponpes Al Khoziny hanya diketahui dengan mengumpulkan cerita dari santri-santri selamat yang dia kenali.

Dari cerita yang didapat, proses pengecoran berjalan saat santri-santri salat jemaah.

“Katanya (tetangga yang juga santri di sana) robohnya itu ya karena memang ada yang bekerja waktu itu,” ungkapnya. “Biasanya, katanya, kalau azan itu berhenti. Jemaah semua salat, masih kerja terus. Jadi tidak ada berhenti.”

Meski menurut santri selamat, sempat ada pertanda sesaat sebelum kejadian, getaran di lokasi baru disusul bangunan runtuh dengan waktu singkat, tapi ada yang berhasil menyelamatkan diri.

Tapi, kemungkinan Rafi tak mendengar pertanda itu karena kebiasaannya salat sangat khusyu. (lta)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Gedung Ex-Bioskop Jalan Mayjen Sungkono

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Surabaya
Senin, 6 Oktober 2025
28o
Kurs