Kamis, 4 Desember 2025

Kemendagri: Partisipasi Pilkada Tinggi, Tapi Warga Kerap Tak Terlibat Pengambilan Kebijakan

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Bachtiar Direktur Jenderal Polpum Kemendagri di Jakarta, Sabtu (18/10/2025). Foto: Antara

Bachtiar Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Dirjen Popum) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengatakan sejauh ini partisipasi masyarakat menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) relatif tinggi. Tapi menurutnya, masyarakat kerap tak terlibat dalam pengambilan kebijakan.

Dia pun mempertanyakan soal tingginya partisipasi pilkada itu dengan partisipasi setelahnya untuk mengawal pemerintahan daerah. Hal itu perlu diteliti lebih jauh karena bisa menyangkut legitimasi terhadap pemimpin dan juga diduga berkaitan dengan politik uang.

“Setelah terpilih itu masyarakatnya masih ikut (berpartisipasi) nggak? Oh ternyata setelah saya pilih kepala daerah ini sama saja. Kalau itu timbul maka pada pilkada berikutnya masyarakatnya bisa apatis,” kata Bachtiar dalam diskusi peluncuran Indeks Partisipasi Pilkada 2024 yang diselenggarakan KPU RI di Jakarta, Sabtu (18/10/2025) dilansir Antara.

Berdasarkan catatan Kemendagri, mayoritas masyarakat cenderung tak terlibat dengan baik dalam pengambilan kebijakan daerah. Namun, pada pilkada berikutnya, kepala daerah yang sama bisa terpilih kembali.

“Pemilihnya datang ramai-ramai ke TPS memilih kepala daerahnya, bupati, wali kota, gubernur. Lima tahun dia bekerja, masyarakatnya tidak ada hubungannya. Membuat kebijakan, tidak ada hubungannya dengan kepemilihan tadi, dan hebatnya terpilih lagi orang yang sama,” katanya.

Dia pun menilai bahwa tingginya angka partisipasi pemilih dalam Pilkada itu cenderung bersifat mobilisasi, ketimbang partisipasi yang berkualitas.

“Jadi, saya mendeteksi ini ada persoalan yang serius yang kita harus bicarakan dalam soal partisipasi politik termasuk dengan pemilih,” katanya.

Dalam temuan sejumlah riset, menurut dia, 70 persen masyarakat Indonesia bersikap permisif terhadap politik uang. Artinya, kata dia, orang datang ke TPS itu bukan karena kesedaran politik, tetapi karena politik uang.

Untuk itu, dia pun mendorong adanya alternatif-alternatif lain dalam sistem pemilu maupun pilkada, karena fenomena partisipasi yang berkorelasi dengan politik uang itu bisa berdampak pada kualitas demokrasi.

“Saya terus terang agak serius dengan hal seperti ini. Juga jangan pula kita bebankan soal ini hanya kepada KPU atau penyelenggara pemilu,” katanya. (ant/bil/faz)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Perpaduan Macet dan Banjir di Kawasan Banyuurip-Simo

Banjir Menggenangi Sidosermo 4

Kecelakaan Bus Vs Truk Gandeng di Jembatan Suramadu

Perpaduan Hujan dan Macet di Jalan Ahmad Yani

Surabaya
Kamis, 4 Desember 2025
26o
Kurs